Santri Katro, Dakwah KO
Oleh : Siti Dzarfah Maesaroh
Sampai hari ini image tentang pondok dan santrinya masih melekat dengan katro, ndeso, jumud, dan beragam label ketertinggalan lainnya. Debatable memang, tapi kenyataan penulis yang terjun langsung di wilayah pendidikan pesantren tak mampu membantahnya, meskipun tentu ada perkecualian. Boro-boro bicara soal manfaat dan mudharatnya teknologi , megang saja masih diributkan.
Internet misal, acap kali digunjing, dipandang sebelah mata, bahkan sering dikambinghitamkan masyarakat pondok. Dengan mudahnya mereka menghakimi bahwa menggunakan facebook itu haram, internet dilarang masuk pesantren, dan berbagai fenomena lainnya. Tak jarang pula mereka menyebut-nyebut “Inilah dampak negative IT”, bila sesuatu terjadi lantaran dunia teknologi informasi ini.
Padahal kalau kita mau sedikit membuka mata untuk melihat kenyataan bahwa era 2011 bukan lagi zaman kentongan sebagai alat komunikasi, melainkan beragam gadget-gadget teknologi modern. Tak heran kalau kalangan pesantren dan masyarakat awam pada umumnya seolah terpenjara sendiri oleh negative thinking mereka. Ketika mendengar IT, keyword yang muncul di otak adalah internet, facebook, dan sederet kasus terkait. Kalau sudah begitu, kecil kemungkinan untuk memahamkan mereka bagaimana dunia IT sesungguhnya dan apa dampaknya untuk kelangsungan hidup.
Membahas tentang IT, Wikipedia menyumbang penjelasan, bahwa teknologi informasi merupakan hasil rekayasa manusia terhadap proses penyampaian informasi dari bagian pengirim ke penerima sehingga pengiriman informasi tersebut akan lebih cepat, lebih luas sebarannya, dan lebih lama penyimpanannya.
Pada masa awal sejarah, dimana manusia bertukar informasi melalui bahasa, maka bahasa adalah teknologi. Bahasa memungkinkan seseorang memahami informasi yang disampaikan oleh orang lain. Tetapi bahasa yang disampaikan dari mulut ke mulut hanya bertahan sebentar, yakni pada saat si pengirim menyampaikan informasi melalui ucapannya. Selain itu jangkauan suara juga terbatas. Untuk jarak tertentu, meskipun masih terdengar, informasi yang disampaikan melalui suara akan terdegradasi bahkan hilang sama sekali.
Dari bahasa, penyampaian informasi berkembang melalui gambar. Gambar bertahan lebih lama dari pada suara. Bahkan gambar peninggalan jaman purba masih ada sampai sekarang sehingga manusia dapat (mencoba) memahami informasi yang ingin disampaikan pembuatnya. Setelah ditemukannya alfabet dan angka Arabik, suatu gambar yang mewakili suatu peristiwa dapat dibuat dengan kombinasi alfabet, atau dengan penulisan angka, seperti MCMXLIII diganti dengan 1943. Tentu teknologi ini memudahkan penyampaian informasi.
Seiring zaman, munculah aneka teknologi elektronik seperti radio, TV, komputer, yang mengakibatkan informasi menjadi lebih cepat tersebar di area yang lebih luas dan lebih lama tersimpan. Bahkan hadirnya internet semakin menduniakan informasi.
Uraian diatas dapat sedikit membuka wawasan masyarakat awam dan orang-orang dilingkungan pesantren tentang apa itu dunia IT sehingga kehadirannya tak serta merta disuudzoni.
Dapat dipahami kemudian kalau IT tak lebih dari “sesuatu”. Dimana sesuatu itu bisa perlakukan apa saja, bisa menjadi apa saja, juga bisa berdampak apa saja, tergantung siapa yang memegang dan mengolah. Seperti benda netral, IT tidak akan berfungsi sama sekali kalau memang tidak difungsikan. Atau dengan kata lain orang yang menggunakan memang tidak bisa memanfaatkan. Tapi jika orang tersebut tahu, mau dan mampu memanfaatkan IT, maka disinilah inti yang menjadi perdebatan tentang baik dan buruknya IT.
Bak air bening. Mau merah, jadi merah. Mau putih jadi putih. Mau hijau jadi hijau, terserah orang mau memberi campuran warna apa. Kalau begitu, tidaklah berlebihan kalau yang patut dipertanyakan adalah siapa yang memanfaatkannya. Bukan alat atau benda (sesuatu) itu yang disalahkan bila terjadi sesuatu, tapi si penggunanya.
Pencapaian Manfaat
Permasalahan selanjutnya, minimnya pengetahuan tentang IT oleh para penggunanya, berdampak fatalnya manfaat IT itu sendiri. “Hanya ditangan orang berilmu segala sesuatu bisa bermanfaat”. Kalau demikian adanya, peningkatan pemahaman masyarakat awam dan kalangan pondok pesantren tentang IT tentu perlu digalakkan, agar bukan hanya dampak negative yang didapat karena ketidaktahuan mereka dalam menggunakan, tapi juga manfaat IT bisa dirasakan secara keseluruhan.
Penulis tidak anti dengan metode dakwah klasik namun alangkah baiknya dikembangkan sesuai zaman, agar keberhasilan dakwah kepada seluruh umat manusia bisa optimal. Sudah saatnya santri memperbaharui metode berdakwah. Disamping agar Islam bisa dikenal ke seluruh penjuru dunia, juga menjadi senjata ampuh dalam memfilter derasnya arus informasi asing.
Jika pemanfaatan IT sudah dicapai, potret santri ndeso, katro, dan jumud tak akan lagi terdengar. Demikian pula dengan pameo-pameo kocak macam: “Sementara orang Barat sudah bisa terbang ke bulan, kita masih sibuk dengan debat ada tidaknya bulan”. atau… ah, banyak sekali, Anda bisa menambahkan sendiri yang terkait dengan santri. ***
*Alumi Malhikdua, Mahasiswi di UIN Sunan Djati Bandung