Paradoks Agen of Change
Ada sebuah ungkapan mengatakan bahwa mahasiswa adalah bagian dari agen of change. Jika demikian maka begitu juga sama dengan seorang mahasantri. Perbedaan keduanya hanyalah soal lingkungan sosial saja. Mahasiswa melakukan seluruh aktivtas yang menjadi eksperimen pemikirannya di lingkungan yang lebih kompleks karena lebih banyak perbedaan kepentingan antar individu yang mereka temui. Sedangkan mahasantri hidup di lingkungan pesantren yang notabene masih dalam satu atap. Walaupun ada perbedaan di kalangan mahasantri namun paling tidak masih mempunyai kesamaan kultur yang kuat.
Dari berbagai literatur mengenai penjelasan tentang arti dan peran agen of change ada satu poin yang ingin penulis tuangkan disini. Sebagai bentuk refleksi pikiran yang seringkali buntu dalam mencari solusi terhadap persoalan yang ada di hadapan kita.
Dalam sebuah artikel menyebutkan bahwa agen of change berarti individu atau kelompok yang akan membawa kepada suatu perubahan pada tatanan kelompok tersebut atau lebih luas lagi masyarakat umum. Sedangkan yang dimaksud perubahan mestinya ialah pergerakan yang menuntun dari suatu kemunduran kepada satu tatanan yang lebih maju. Baik perubahan itu ada dalam niat perorangan ataupun berupa gerakan kelompok. Perubahan dari sifat malas maupun sikap kepeduliaan. Menjadi sebuah peradaban yang mempunyai budaya semangat aktivitas dan berdasar ilmu pengetahuan. Demikian itu mahasantri dituntut atas dasar kedewasaan.
Namun disaat mahasantri diharapkan mampu menjadi motor penggerak semangat berpikir kritis dan aktif, yang terjadi justru ironi dalam budaya kita sendiri. Kenyataanya kita tak ada keinginan untuk menggapai. Tak ada semangat untuk mencapai. Begitupun juga tidak ada dukungan konsep tatanan. Inilah yang terjadi pada setiap kegiatan-kegiatan yang kita buat sendiri.
Kegiatan Bahtsul ilmi misalnya, dari sekian banyak diantara kita mahasantri mahad aly hanya beberapa orang saja yang aktif. Mereka adalah penanggung jawab kegiatan yang sekaligus merangkap menjadi peserta kegiatan. Satu sisi dia beradu argumen dengan lawan bicaranya. Disisi lain dia harus menyiapkan konsumsi acara. Demikian juga dengan kegiatan musyawaroh hanya seperempat dari kita yang merasa perlu dan butu. Selebihnya masa bodoh. Dan masih ada beberapa kegiatan yang tidak penulis sebutkan karena belum melakukan survei dan analisa secara mendalam.
Sebenarnya secara umum mahasantri mahad aly sudah berperan aktif di luar lingkungan kampus. Seperti aktivitas mengajar tingkat sekolah, pengelolaan administrasi, atau bahkan dikalangan abdi ndalem. Hanya saja kencederungan akan kesibukannya sering kali menjadi alasan terhadap ketidakaktifan mereka di lingkungan kampus. Sedangkan perkuliahan atau kegiatan kampus harusnya menjadi modal pemikiran yang akan mereka tuangkan dalam masyarakat atau orang-orang di luar lingkungan kampus.
Dari uraian abstraksi di atas menyimpulkan sebuah gagasan perlunya mengandalkan kampus sebagai ruang diskusi untuk memecahkan berbagai persoalan praktis maupun teoritis dengan dasar argument yang kritis. Sebagai bentuk basic mahasantri. Entah itu dalam hal syariah ataupun sains. Sehingga entah apapun kesibukan kita diluar kegiatan perkuliahan akan selalu merindukan pertukaran pemikiran mencari solusi masalah yang terjadi pada umat. Tentunya karena mahasantri bagian dari agen of change.
Penulis: Abdi Hasan