Tak Mungkin Tanpa Iman
Oleh : KH. Shofiyullah Mukhlas, MA
Segala aktifitas hanya akan dianggap mempunyai nilai jika sang pelaku berhak untuk mendapat imbalan dari aktifitas tersebut. Orang yang telah banyak berbuat namun belum berhak menerima imbalan dari perbuatannya, itu sama artinya perbuatan tersebut belum memberi arti bagi dirinya. Bagi Allah, orang hanya berhak menerima imbalan jika penghambaannya sesuai dengan cara yang Allah kehendaki. Dan hanya ada satu cara, yaitu dengan cara agama Islam.
Manusia menjadi muslim apabila mengakui dua kalimat syahadat sebagai fondasi akidahya. Kalimat tersebut sebagai rukun Islam pertama. Namun ikrar kalimat tersebut belum dianggap sah kecuali apabila memenuhi beberapa syarat. Jika salah satu syarat tidak dipenuhi, orang tersebut belum dianggap muslim, sehingga tidak ada satu pun ajaran Islam berlaku baginya.
Secara singkat, syarat tersebut dibagi menjadi dua, pertama cara mengucapkannya dan kedua redaksi kalimatnya. Mengenai yang pertama, ada dua syarat yang yang harus dipenuhi.
Pertama; Orang yang mengakui syahadat sebagai dasar akidahnya, ia harus mengikrarkan kalimat tersebut secara lisan. Orang yang hanya yakin atas kebenaran kalimat tersebut namun tidak mau mengikrarkan secara lisan, orang tersebut belum menjadi muslim. Contoh klasik paling terkenal adalah kisah Abu Thalib. Paman Rasul yang paling berjasa dalam membela dakwah Rasulullah ini tidak diragukan lagi keyakinannya. Ungkapan syairnya nyata menyiratkan keyakinan tersebut. Ia katakan,
ولقد علمت بأن دين محمد * من خير أديان البرية دينا
“Sungguh aku yakin agama Muhammad adalah sebaik-baik agama untuk seluruh umat manusia.”
Namun karena hingga akhir hayatnya Abu Thalib tidak sempat mengikrarkan dua kalimat tersebut, statusnya tetap belum menjadi muslim. Secara tegas Allah firmankan bahwa Abu Thalib adalah hamba yang tidak mendapatkan hidayahNya. Penegasan ini Allah tuangkan dalam firmanNya,
إنك لا تهدي من أحببت ولكن الله يهدي من يشآء وهو أعلم بالمهتدين (القصص: 56
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.”
Kedua; Orang yang mengikrarkan kalimat syahadat harus yakin atas kebenaran kalimat tersebut. Tidak ada sekutu bagi Allah, baik Dzat, Sifat maupun segala Af’alNya. Orang yang meragukan, walaupun hanya salah satu dari tiga hal tersebut, ia belum menjadi muslim, walaupun lisannya sudah mengikrarkan. Dalam hazanah Islam, orang tersebut biasa disebut munafik, yaitu orang yang aktifitas lahiriyahnya berstatus Islam namun hatinya tetap ingkar. Orang-orang seperti ini di hadapan Allah tetap dianggap kafir, walaupun secara hukum dunia tidak bisa dikenai hukuman seperti orang kafir.
Baik di dunia maupun di akhirat, orang seperti ini adalah orang yang paling merugi. Karena secara hukum dunia mereka harus menaati seluruh aturan Islam, sedangkan di akhirat kelak mereka tetap digolongkan orang-orang kafir. Tentang isi hati orang munafik ini Allah berfirman,
مذبذبين بين ذالك لآإلى هؤلآء ولآ إلى هؤلآء ومن يضلل الله فلن تجد له سبيلا. (النسآء: 143
“Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman atau kafir), tidak masuk kepada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir). Barangsiapa yang disesatkan Allah maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya.”
Tak heran, jika adzab bagi orang-orang munafik kelak berupa siksa yang paling pedih dibanding adzab untuk yang lain. Karena status kekafiran mereka selama di dunia belum dikenai hukuman. Allah berfirman,
إن المنافقين في الدرك الأسفل من النار
Begitu juga kesaksian terhadap Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. Dalam bersaksi, orang harus yakin bahwa Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah Rasul terakhir yang diutus Allah. Sehingga seluruh ajaran yang ia bawa adalah benar adanya. Semua ajaran yang ia bawa adalah demi kebaikan seluruh umat manusia, baik untuk kehidupan dunia maupun akhiratnya.
Oleh karena itu, ragu dengan kenabian Muhammad adalah ragu terhadap seluruh ajaran yang dibawanya. Orang yang meragukan, membenci, atau bahkan memusuhi, sangat jauh dari arti yakin atas kerasulannya, sehingga sudah tentu mereka bukan termasuk golongan umat Islam.
Kebanyakan orang munafik yang tadi sudah disinggung adalah orang-orang yang ragu atas kenabian Muhammad ini. Banyak di antara mereka yang telah mengakui keesaan Allah dengan segala sifat kebesaranNya, namun mereka enggan mengakui kenabian Muhammad. Ini terbukti karena fenomena munafik terjadi di Madinah yang latar belakang agamanya adalah Yahudi, ahlul kitab. Mereka adalah orang-orang yang telah mengesakan Allah SWT, namun mereka meyakini bahwa dirinya adalah orang-orang yang lebih berhak mendapat wahyu dibanding Muhammad. Sehingga, mereka tidak mau meyakini atas kebenaran ajaran yang dibawa Muhammad.
Atas sikapnya ini, Allah menggolongkan mereka sebagai orang kafir. Ketika Rasulullah menyalatkan Abdullah bin Ubay bin Salul, pimpinan kaum munafik Madinah, Allah seketika menegurnya. Karena, bagi Allah Abdullah tetap orang kafir yang tidak berhak mendapat rahmat apapun setelah dirinya meninggal.
Allah berfirman,
ولا تصل على أحد منهم مات أبدا ولا تقم على قبره إنهم كفروا با الله ورسوله وماتوا وهم فاسقون. (التوبة: 84
“Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.”
Redaksi Kalimat Syahadat
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan pada redaksi syahadat, setidaknya ada dua hal paling utama, yaitu,
Pertama; Dua kalimat syahadat tidak boleh dikurangi. Orang yang hanya mengucapkan satu kalimat syahadat, walaupun dengan penuh yakin, orang tersebut belum menjadi Islam. Fenomena ini banyak ditemui pada para pemeluk agama lain, selain Islam. Mereka meyakini bahwa tuhan mereka adalah Maha Kuasa, Maha Besar dan Maha Segelanya. Sehingga secara tidak langsung mereka telah memiliki ketauhidan. Ketidakmauan mereka mengakui kerasulan Muhammad dan mengikuti ajarannya hanya soal pilihan cara dalam mendekatkan diri kepada Sang Khaliq. Mereka yakin apa yang mereka tempuh tujuannya sama dengan apa yang ditempuh Muhammad, yaitu mendekatkan diri kepada Allah.
Allah berfirman, “
…والذين اتخذوا من دونه أوليآء ما نعبدهم إلا ليقربونا الى الله زلفى ..( الزمر: 3
“Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya’.”
Qatadah berkata, “Ketika ditanyakan kepada mereka, siapa tuhan kalian dan siapa yang menciptakan kalian? Siapa yang menciptakan langit dan bumi dan siapa yang menurunkan hujan dari langit?” Mereka serempak menjawab ‘Allah’. “Kenapa kamu menyembah berhala?” Mereka menjawab, “Agar mereka mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya dan memberi syafaat kepada kami di sisiNya.”[1]
Bahkan di antara mereka ada yang telah meyakini kenabian Muhammad, hanya saja mereka tidak mau ikrar untuk mengikutinya. Karena, jika tujuannya sudah sama, kenapa mesti harus mengakui kenabian Muhammd. Mengakui kenabian Muhammad hanya akan mengikat dirinya harus mengikuti segala ketentuan dan syariatnya.
Untuk masyarakat di Indonesia, kita sering mendengar adanya aliran kebatinan. Kita juga mendengar mereka adalah orang-orang yang mengesakan Tuhan dan telah mengakui segala kebesaranNya. Namun karena mereka tidak mengakui kerasulan Muhammad, akhirnya mereka memilih cara tersendiri. Cara inilah yang kemudian membedakan pengertian esa yang mereka maksud dengan Esa yang dibawa Nabi Muhammad, maha besar yang mereka yakini dengan Maha Besar yang diyakini umat Islam. Dan akhirnya, tauhid yang mereka yakini juga bukan tauhid yang diyakini umat Islam.
Begitu juga apabila ada orang yang mau mengakui kenabian Muhammad, tetapi tidak mau mengakui keesaan Allah. Orang tersebut juga bukan dianggap umat Islam. Sebab kenabian Muhammad tidak pernah mengajarkan tauhid kecuali mengesakan Tuhan. Kenabian Muhammad menempatkan syahadat tauhid sebagai kalimat pertama dalam syahadat. Sehingga orang yang mengakui kenabian Muhammad namun menuhankan selain Allah Yang Maha Esa, ia tetap bukan bagian dari umat Islam.
Allah berfirman,
قل هو الله أحد ألله الصمد لم يلد ولم يولد ولم يكن له كفوا أحد
“Katakanlah, ‘Dia-lah Allah Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan. Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.”
Dalam contoh klasik kami belum menemukan komunitas ini, namun dalam catatan akhir bukunya, Constan Georgio menuliskan isi keyakinannya sebagai orang yang meyakini kenabian Muhammad, kendati ia tetap memilihi agama Kristen. Ia katakan, “Saya yakin atas kebenaran segala ajaran yang dibawa Muhammad dan saya sangat mengaguminya. Namun, saya tahu Muhammad sangat menghormati Isa al-Masih dan Ibunya, sehingga saya juga ingin mengikuti orang yang sangat dihormati Muhammad itu.”
Pernyataan ini ingin mengakui kenabian Muhammad kendati ia tidak ingin mengikuti ajarannya. Karena dengan mengikuti ajaran orang yang dihormati Muhammad, ia merasa sudah mengikuti Muhammad. Ia pun merasa tidak perlu merubah ‘tauhid’ yang telah ia yakini. Di sinilah letak kekeliruan itu. Karena tauhid yang ia yakini tidak sama dengan tauhid orang yang sangat dihormati Muhammad. Isa al-Masih tidak memerintahkan tauhid trinitas, sedangkan kaum Kristiani sekarang bertauhid trinitas. Sehingga, jika ia komitmen ikut Isa, tauhidnya harus sama dengan tauhid Isa al-Masih, yaitu Tuhan Maha Esa, tiada tuhan kecuali Allah, tauhid yang di bawa Muhammad itu sendiri.
Orang yang bertauhid trinitas tetap belum dianggap muslim. Allah berfirman,
لقد كفر الذين قالوا إن الله ثالث ثلاثة وما من إله الا إله واحد
“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang berkata, ‘Bahwasannya Allah salah satu dari yang tiga’, padahal sekali-sekali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa.”
Jika mengurangi salah satu kalimat syahadat seseorang belum dianggap muslim, maka mengingkari keduanya pasti nyata belum dianggap muslim.
Kedua; Dua kalimat syahadat tidak boleh ditambah. Bagi orang yang sudah bersyahadat secara sempurna, namun ia menambah dengan kalimat lain, maka hukumnya bisa dipilah sebagai berikut;
a. Apabila seseorang meyakini bahwa tambahan tersebut sebagai bagian dari rukun Islam, maka syahadatnya tidak jadi, walaupun tambahan tersebut secara substansi tidak salah. Hal ini seperti yang terjadi pada sebagian penganut paham Islam tertentu.[2]
b. Apabila tambahan tersebut tidak diyakini sebagai rukun Islam dan isinya juga tidak salah dari ketentuan Islam, syahadat tersebut tidak membuat orang yang bersangkutan keluar dari Islam. Hal ini seperti yang terjadi di sebagian masyarakat Indonesia yang biasa membaca semisal manaqib Syekh Abdul Qadir Al-Jilani. Mereka biasa menembahkan kalimat “ “الشيخ عبد القادر ولي الله (Syekh Abdul Qadir adalah waliyullah). Kalimat seperti ini tidak menjadi masalah dalam akidah, karena orang-orang tersebut tidak meyakin bahwa kalimat tersebut sebagai bagian dari rukun Islam. Jika mereka meyakini sebagai bagian dari rukun Islma, maka syahadatnya tidak sah. Penulis yakin, hal ini tidak terjadi.
Apabila kalimat yang ditambahkan tidak sesuai dengan ketentuan Islam, pelakunya bisa dianggap berdosa atau bahkan keluar dari Islam. Dalam contoh di sini, Syekh Abdul Qadir adalah memang benar sebagai seorang waliyullah. Sehingga mengakui seorang waliyullah sebagai wali adalah hal yang sah-sah saja. Hal ini berbeda apabila tambahan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan Islam. Misalnya dalam penambahan dikatakan, Syekh Abdul Qadir Nabiyyullah. Tentu penambahan seperti ini membuat iman orang yang bersangkutan menjadi rusak.
Begitu juga orang yang menambahkan kalimat atau nama lain dalam syahadatnya yang kalimat tersebut diyakini sebagai Rasul Allah. Misalnya setelah dua kalimat syahadat ia tambahkan bahwa si fulan, si Ahmad, si Shodiq, atau lainnya sebagai utusan Allah.
Ketiga; Dua kalimat syahadat ini tidak boleh diganti. Orang yang mengganti dua kalimat syahadat, baik mengganti salah satunya atau dua-duanya, syahadatnya tidak sah dan tidak jadi. Untuk syahadat tauhid, sejak nabi Adam Alaihissalam hingga nabi Muhammad semuanya sama. Karena semua kerasulan membawa misi tauhid yang sama.
Akan tetapi, di dalam syahadat nabi, setiap umat memiliki syahadat yang berbeda, sesuai nabi yang diutus untuk mereka. Umat Nabi Ibrahim Alaihissalam syahadatnya tentu memberi kesaksian bahwa nabi Ibrahim Alaihissalam adalah Rasul Allah. Begitu juga umat Nabi Musa Alaihissalam, nabi Isa Alaihissalam dan nabi-nabi yang lain. Namun untuk umat Muhammad, redaksi syahadat Rasul selamanya tidak akan berubah. Karena Rasulullah adalah nabi terakhir yang diutus. Umat Muhammad yang merubah syahadat Rasulnya, apapun nama yang dicantumkan dalam syahadat tersebut, ia dianggap sudah keluar dari agama yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Misalnya, menambah ‘si Shodiq’ sebagai utusan Allah.
Wallah A’lam bis Shawab…
________________________________________
[1]. Al-Qurtubi; 8/172.
[2]. Di radio Teheran setiap adzan selalu di tambahkan أشهد أن عليا ولي الله . Kalimat ini dibaca setelah syahadat nabi. Secara substansi kalimat ini tidak salah. Jika kalimat ini tidak diyakini sebagai rukun Islam, maka membaca bacaan tersebut tidak menjadi masalah. Akan tetapi apabila kalimat tersebut diyakini sebagai rukun Islam, maka syahadat tersebut tidak diterima.