Mengembalikan Ruh Kepenulisan Pelajar
Pelajar merupakan predikat yang diberikan kepada orang yang sedang menimba ilmu, mereka terbiasa dengan berbagai hal yang berhubungan dengan proses mencari pengetahuan, mulai dari mendengarkan, membaca, hingga menulis apa yang mereka dapatkan. Pelajar menjadi kaum intelek yang mewarisi semangat para pejuang bangsa. Mereka menjadi penerus para pendahulunya dalam memajukan bangsa. Jika pada masa penjajahan, para pendahulu bangsa berjuang dengan jiwa dan harta mereka, namun sekarang para pelajar meneruskan perjuangan dengan menulis, karena merdeka bukan berarti perjuangan selesai.
Sejarah mencatat, bahwa Revolusi Pemerintahan di seluruh dunia dimulai dari goresan tangan para kaum pelajarnya. Sebagai contoh Indonesia, masa reformasi bermula ketika para mahasiswa menentang sikap Presiden yang sewenag-wenang, mereka meninginkan presiden untuk turun dari kursinya, mereka mulai melayangkan kritikan demi kritikan lewat surat kabar. Goresan tinta mereka banyak membuka pemikiran mahasiswa lain untuk melakukan aksi yang sama, sehingga menyulut demo besar anti-pemerintah yang berujung pada lengsernya Presiden Soeharto. Terbukti bahwa lewat karya dan tulisan pelajar ataupun mahasiswa, mereka mampu menjadi agent of change , agen perubahan dari era diktator menuju era demokrasi. Namun apa jadinya bila kaum intelek ini mulai bungkam, mereka berhenti menulis dan berkarya bahkan mereka malah menambah daftar panjang kriminalitas?.
Memang ironis, jika melihat kondisi pemuda dan kaum terpelajar kebanggaan bangsa, jatuh dalam jurang semu kehidupan hedonisme, hanya mementingkan kenikmatan sesaat yang instan. Hal ini juga terjadi pada beberapa mahasiswa di luar negeri. Seperti mahasiswa Indonesia yang belajar di Mesir, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Masisir. Masisirpun tak luput dari virus ini, virus yang menyebabkan gairah kepenulisan lesu dan stagnan. Padahal begitu banyak kajian dan diskusi yang dilakukan oleh masing-masing kekeluargaan, namun tak banyak buku kompilasi hasil diskusi yang terbit setiap tahunnya. Contoh lainnya, di Mesir begitu banyak majalah dan buletin, namun bila diperhatikan dengan seksama, dari sekitar 6000 mahasiswa, akan terlihat hanya segelintir nama yang aktif menulis, kemanakah yang lainnya? Media merekapun banyak yang terbitnya tak beraturan, hingga sedikit demi sedikit akan hilang dan tinggalah sebuah nama.
Universitas Al-Azhar memang tidak mewajibkan mahasiswanya untuk berangkat secara continue dan teratur, apalagi memberikan tugas berupa pembuatan makalah pada setiap minggunya seperti halnya di Indonesia. Hal inilah yang sering dijadikan alasan masisir merasa kesulitan untuk menulis selain terbatasnya waktu. Namun, mengapa Al-Azhar membuat kebijakan seperti itu?, karena universitas tertua ini berpaham moderat atau tawasuth, Al-Azhar memahami bahwa banyak ilmu penting di luar kuliah, yang tak mahasiswa dapatkan di dalam kelas, sehingga Al-Azhar tidak mewajibkan mahasiswanya untuk kuliah.
Terlepas dari semua faktor eksternal, kita seharusnya mencari solusi, yaitu dengan menanamkan pada diri tentang urgensi menulis. mengapa kita menulis dan seberapa penting menulis itu. Banyak alasan yang mendorong kita untuk menulis.
Salah satu alasannya, menulis adalah profesi pelajar, karena pelajar dekat dengan membaca dan menulis . Jika nelayan identik dengan jala, petani akrab dengan cangkulnya, maka mahasiswa atau pelajar identik dengan tulisannya, bagaimana jadinya kalau mahasiswa tidak menulis? Apakah masih bisa menjalankan pangkatnya sebagai mahasiswa?
Menulis merupakan sarana beribadah, bayangkan jika kita menulis sebuah pemahaman untuk melakukan sebuah kebaikan, kemudian tulisan kita dibaca orang dan diamalkan, apa yang kita dapatkan? Tak lain adalah pahala, karena dengan menulis kitapun pada hakikatnya sedang beribadah. Seperti hadits Nabi. Saw, jika telah meninggal anak Adam maka terputuslah semua amal ibadahnya, kecuali 3 hal, yaitu shadaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak sholeh yang mendoakan orang tuanya .
Menulis adalah sarana untuk menguatkan hafalan dan menjaga suatu pengetahuan, terbayang tidak, bagaimana jadinya biala Al-Quran dan Al-Hadits tidak ditulis?, bagaimana kita mempelajari dan mengamalkan islam. Bagaimana jika para ulama terdahulu tidak menulis? Pasti banyak ilmu mereka yang hilang dengan wafatnya mereka.
Menulis membuat kita hidup selamanya. Dengan menulis seseorang akan dikenal banyak orang dan namanya akan tetap dikelah walau ia telah lama meninggal, berbeda dengan orang yang tak pernah menulis walaupun dia hidup, namun keberadaan kadang tak diketahui karena ia tak menulis. Sebagai contoh Imam Syafi’i, Imam Ghozali, dll, mereka telah meningggalkan kita berabad-abad lamanya, dari mana kita mengenal mereka, tak lain dari karya monumental mereka.
Jadi masihkah kita berpikir untuk tidak menulis?, menulis memang bagi sebagian orang sedikit menyusahkan, tapi berawal dari menulis hal-hal kecil dan secara teratur akan membuat kita terbiasa. Karena menulis tak mesti panjang, namun bisa dimulai dengan menulis catatan harian, mengenai peristiwa penting apa yang terjadi hari ini secara berkala. Seperti kata pepatah Jawa, Witing tresno jalaran soko kulino, awalnya mencintai karena kita terbiasa bertemu, jadi kita bisa karena terbiasa, dari terbiasa munculah rasa cinta. Membacalah jika ingin mengenal dunia, menulislah jika ingin dikenal dunia!.
( M. Miftakhudin Wibowo – Alumni MAK Al Hikmah 2 sekarang sedang melanjutkan studi di Universitas Al Azhar Mesir)
Sumber tulisan : miftahuna.malhikdua.com