Ilmu Manfaat
Oleh : Ust. Hanif Hidayatullah, S.Pd. I*
Apa sebenarnya ilmu yang bermanfaat itu ? seringkali kali ketika seorang santri yang telah lulus kemudian bermukim di rumah lantas dia mengajar ngaji atau disekolah atau bahkan membuat pesantren dan sekolah dikatakan ilmunya bermanfaat. Kemudian bagaimana dengan yang tidak bisa mengajarkan ilmunya di lembaga pendidikan baik formal atau nonformal itu berarti ilmunya tidak bermanfaat ?. Hal tersebut sering membuat saya secara pribadi merasa bingung.
Apa dan bagaimana sebenarnya ilmu yang bermanfaat itu ? barangkali asumsi di atas ada benarnya tapi bukan berarti benar seratus persen. Bagaimana pendapat Anda ? yang jelas saya, Anda atau bahkan kita semua ingin menjadi orang yang memiliki ilmu yang bermanfaat, bukan begitu ? Semoga kita semua bisa mendapatkannya. Amin.
Ibnu ‘Athoillah dalam kitabnya Al-Hikam -yang saya baca melalui terjemahannya baik yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa maupun Indonesia- menjelaskan tentang ilmu yang bermanfaat :
اَلْعِلْمُ النَّافِعُ هُوَ الَّذِي يَنْبَسِطُ فِي الصَّدْرِ شُعَاعُهُ وَيَنْكَشِفُ بِهِ عَنِ الْقَلْبِ قِنَاعُهُ.
“Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang memancarkan cahaya di dalam dada, dan dapat menyingkap tutupnya hati”. Ilmu yang demikian (bermanfaat) dapat mengantarkan seseorang untuk mengenal Allah dengan baik, berkomunikasi dengan Dzat Yang Maha Pencipta dengan segala sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Mengamalkan ibadah-ibadah wajib dan sunnat sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad saw.
Bagaimana pendapat Anda setelah membaca penjelasan tersebut, mungkin sedikit berubah dari sebelumnya, bukan begitu ?. Kalau saya sendiri, jujur, mengalami perubahan yang secara garis besar bisa saya katakan bahwa “Ilmu yang bermanfaat bukan berarti yang diajarkan, tapi ilmu yang bisa mengantarkan seseorang menjadi orang yang bisa melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya, atau barangkali boleh dikata ilmu yang bisa mengantarkan seseorang menjadi orang yang bertakwa. Wallahu a’lam”.
Mungkin sekarang sebaiknya kita simak saja penjelasan lebih lanjut dari maqalah Ibnu ‘Athoillah tersebut, yang telah disadur dan diterjemahkan oleh Abu Hakim dkk dengan judul Mutu Manikan dari Kitab Al Hikam Karya Fenomenal dari Syekh ‘Athoillah, pada halaman 533 sampai 536, sebagai berikut :
Ilmu pengetahuan perlu dipelajari, hukumnya wajib ‘ain bagi setiap muslimin dan muslimat. Ilmu ibarat nur Ilahi yang ditanam di dalam hari orang beriman. Nur ilahi menumbuhkan rasa himmah dalam dada orang beriman lalu menggetarkan hati sehingga katup (tutup) ilmu itu terbuka, menyebar ke seluruh jiwa manusia, lalu menyebar ke tengah masyarakat.
Ilmu harus dapat membentuk diri orang berilmu dengan akhlak dan jiwa mulia, dapat membentuk anggota masyarakat sesuai dengan tuntunan Ilahi, dan mampu mengokohkan Islam di tengah-tengah masyarakat. Itulah yang disebut ilmu yang bermanfaat.
Ilmu yang bermanfaat dapat mengantar manusi untuk mengenal Allah dengan baik, berkomunikasi dengan Maha Pencipta dengan segal sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Mengamalkan ibadah-ibadah wajib dan sunnat sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad saw.
Mempelajari lalu mengamalkan ilmu akidah dan syari’ah sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw., lalu menampakkan diri sebagai hamba Allah yang patuh para perintah dan larangan-Nya. Nabi Daud As., mengatakan, “Ilmu di dalam dada manusia bagaikan lampu di dalam rumah.” Imam Anas bin Malik mengingatkan, “Ilmu itu bukan sekedar kepandaian, atau banyak meriwayatkan hadits Nabi saw, akan tetapi ia merupakan nur yang bercahaya dalam hati. Sedangkan manfaat ilmu itu akan mendekatkan manusia kepada Allah swt, serta menjauhkannya dari kesombongan.”
Ilmu yang bermanfaat itu akan menjadi amal yang tidak habis-habisnya di sisi Allah swt. Ia akan menjadi benteng bagi diri pemilik ilmu dari serangan orang-orang yang ingkar, dan menjadi lumbung pahala ketika menghadapi Allah swt. Nabi Muhammad saw, bersabda : “Apabila anak Adam itu meninggal, putuslah semua amalnya, kecuali ada tiga perkara, yaitu, sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang senantiasa mendoakan kedua orang tuanya.” Tiga perkara ini juga disebut amal jariah.
Ilmu yang bermanfaat itu bukan untuk dibanggakan, atau dipertontonkan sebagai bangunan yang kosong. Ilmu hendaklah membangun rasa cinta dan takut kepada Allah Rabbul’Alamin. Syekh Ataillah menegaskan hal ini :
خَيْرُ الْعِلْمِ مَا كَانَتِ الْخَشْيَةُ مَعَهُ.
“Sebaik-baik ilmu, apabila menumbuhkan rasa takut kepada Allah Swt.”
Yang dimaksud rasa takut, adalah mengamalkan ilmu yang dianugrahkan Allah itu untuk mempertahankan diri kepada-Nya sebagai ciri-ciri orang berilmu. Ilmu menjadi pendorong dan penguat jiwa untuk makin dekat kepada Allah melebihi orang yang tidak berilmu. Sifat orang alim adalah memeliki khasyiah yang tinggi terhadap Allah. Ia mencintai Allah melebihi segala-galanya, bahkan dirinya sendiri. Allah swt, berfirman dalam Al-Qur’anul Karim surat Al Fatir ayat 28, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulam.”
Kedudukan orang berilmu di tengah masyarakat, terutama Ulama’, ibarat lampu yang menerengi alam sekitarnya. Atau ibarat pohon rindang yang lebat, dengan kembang dan buahnya dalam sebuah kebun. Manusia yang mendatangi pohon itu dapat berlindung di bawahnya, menikmati wanginya bunga yang semerbak baunya, dan merasakan pula buah pohon yang telah masak lezat rasanya.
Menuntuk ilmu itu hukumnya wajib ‘ain, karena ilmu adalah benteng dalam jiwa manusia untuk mempertahankan diri, dan membedakan antara yang halal dan haram. Orang yang menuntut ilmu, ia tidak kuatir, karena ia yakin akan janji dan kasih sayang Allah, seperti sabda Rasullah saw, “Orang yang menuntut ilmu itu rezeki telah dijamin oleh Allah swt.” Dalam keterangan lain, “Sesungguhnya para Malaikat menebarkan sayapnya bagi orang yang sedang menuntut ilmu.”
Martabat orang berilmu dijamin oleh Allah pada derajat-derajat tertentu, asal saja ilmu yang dimilikinya bermanfaat bagi agama dan manusia, Al Junaidy mengatakan bahwa, ilmu yang bermanfaat mampu menunjukkan manusia menuju Allah dan menjauhkan dari hawa nafsu serta mencegah maksiat.
Allah swt., berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Mujadilah ayat 11, “Allah swt., akan mengangkat orang-orang beriman di antara kamu serta orang-orang berilmu dengan beberapa derajat.”
Sedangkan menuntut ilmu, tidak hanya untuk anak sekolah, setiap muslim wajib menuntut ilmu dengan tidak memandan usia. Sepanjang hidup manusia diwajibkan oleh Allah swt terus menerut mencari ilmu pengetahuan, seperti diisyaratkan Nabi saw., “Carilah Ilmu pengetahuan itu sejak kamu masih dalam buaian ibumu, hingga kalian kembali ke liang lahad.” Mengapa demikian ? Rasulullah bersabda : “Al’lmu Hayatul Islam Wai’maduddin (Ilmu itu tanda hidupnya Islam dan tiang agama).”
Ilmu pengetahuan akan sangat bermanfaat dan memiliki jiwa apabila ilmu itu berhiaskan nilai-nilai agama, dan rasa takut kepada Allah Maha Pencipta. Syekh Ataillah mengatakan :
اَلْعِلْمُ إِنْ قَارَنَتْهُ الْخَشْيَةُ فَلَكَ وَإِلاَّ فَعَلَيْكَ.
“Ilmu yang disertai rasa khasyiah kepada Allah, itulah ilmu yang menguntungkan. Kalau tidak demikian, maka ilmu itu akan membahayakan kamu.”
Dalam suatu hadits, Nabi saw, bersabada, “Siapa yang bepergian mencari ilmu, maka Allah swt akan memudahkan baginya jalan ke surga.” (HR. Muslim). Rasulullah mengingatkan, “Apabila setiap hari tidak satu ilmu pun yang aku peroleh, yang akan mendekatkan aku dengan Allah, berarti hari itu terbitnya matahari tidak membawa berkah bagiku.”
Seorang Hukama’ berkata, “Ilmu itu lebih berharga daripada harta, karena ilmu dapat menjaga dirimu, sedangkan hartamu dirimulah yang menjaganya.”.
Demikian penjelaskan atau syarah dari maqalah Ibnu Athaillah As-Sakandari, semoga kita bisa mengambil manfaatnya. Amin.
*Dewan Pengajar Di Pondok Pesantren Al Hikmah 2
Sesorang yang memiliki ilmu luas dan bermanfaat, yang telah di tuliskan di atas, kalau boleh saya ibaratkan bahwa ketika seseorang itu sholat maka sajadahnya adalah ilmu pengetahuan yang luas itu, dia sadar betul karena dia berdiri di atas ilmu pengetahuan tentang Tuhan dan semesta ilmuNya. “Dirikanlah sholat = Dirikanlah kesadaran di atas Ilmu pengetahuan” dia sadar akan hakekat. Keimanan berdasarkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya bukan karena ikut-ikutan. Kalau orang biasa mungkin anggapannya sajadah ya, sajadah itu.
Salam kenal, Saya terkesan artikel Anda. Wass.