Pesantren dan Budaya menulis
Alhikmahdua- Nusantara merupakan wilayah yang dulunya di bawah kekuasaan Majapahit. Nusantara lekat pada Indonasia karena sebagian besar wilayah Nusantara masuk kawasan Indonesia setelah merdeka. Interaksi antara aganma islam dan buadaya lokal menghasilkan wajah baru yang berbeda dari islam Timur tengah. Para sejarawan percaya, pertamakali islam masuk ke Nusantara adalah islam tasawuf dan islam masuk pada kondisi penduduk asli yang sudah memeluk kepercayaan terhadap roh-roah nenek moyang.
Wali songo sebagai penyebar agama islam secara bertahap meramu intisari ajaran islam kemudian menyelipkan kedalam kondisi masyarakat setempat. Pesantren merupakan produk dari budaya Nusantara, para sejarawan pun sepakat pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia.
Menurut Agus Sunyotno dalam Atlas Wali Songo, salah satu proses islamisasi yang dilakukan oleh Wali songo melalui pendidikan adalah usaha mengambil alih lembaga pendidikan Syiwa-Buddha yang disebut “asrama” atau “dukuh” yang diformat sesuai ajaran islam menjadi lembaga pendidikan pondok pesantren.
Usaha itu menunjukkan hasil menakjubkan, karena para guru sufi dalam lembaga Wali songo mampu memformulasikan nilai-nilai sosiokultural religius yang dianut masyarakat Syiwa-Buddha dengan nilai-nilai islam, terutama nilai-nilai ketauhidan Syiwa-Buddha (adwayasastra) dengan ajaran tauhid islam yang dianut para guru sufi.
karya para wali songo
Agaknya tradisi menilis di pondok sudah ada seiring lahirnya lembaga tersebut. Hingga sekarang kita masih bisa menikmati karya-karya wali songo. Sunan Ampel yang dipercaya sebagai guru para wali songo sekaligus pendiri pesantren pertama memiliki putra bernama Raden Maulana Makdum Ibrahim atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Bonang.
Sunan Bonang memiliki banyak karya salah satunya tentang ilmu tasawuf berjudul Tanbihul Ghofilin, Suluk Wujil, dan Tembang jawa. Sunan Kalijaga dengan berbagai tembang jawa dan dua buah kitab yang sangat dikenal masyarakat jawa yaitu kitab suluk linglung dan serat dewa ruci, serta karya-karya sunan lainnya.
Kemudian tradisis kepenulisan dilanjutkan oleh generasi penerus Walisongo yaitu para ulama Nusantara seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin As-Sumatrani, Nuruddin ar Raniri, dan Abdurrauf as-singkili yang pada abad ke-16 dikenal juga sebagai pemikir islam dan pengembang peradaban Melayu Nusantara. Dari sini sudah sangat jelas dari awal budaya kepenulisan tidak bisa dipisahkan dari dunia pesantren.
pentingnya menulis
Mungkin kita pernah mendengar ungkapan Pramoedya Ananta Toer bahwa orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama tidak menulis ia akan hilang dari masyarakat dan sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian. Artinya, siapa yang menilis ia akan “abadi”. Pram sudah lama meninggal tetapi orang merasa ia masih hidup dengan membaca tulisannya.
Begitu pula para mushannif kitab yang hingga kini karyanya masih dikaji di berbagai pesantren bahkan universitas. “jika kamu bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis.” begitulah petuah Imam Ghozali.
Menyadari betapa pentingnyas menulis, kita sebagai santri dituntut mengikuti para kyai dan ulama termasuk dalam hal produktivitas menulis. Meskipun belum menguasai bahasa arab tetapi kita sudah menguasai bahasa nasional, bahasa indonesia, mulaialah dengan itu. sebagai santri kita tidak mempunyai alasan lagi untuk tidak menulis.