Tata Kelola Hati dan Pikiran
Oleh : Ustadz Shofiyullah Mukhlas, MA
Iman dan Islam merupakan fitrah yang telah Allah Subhanahu wata’ala berikan kepada setiap manusia sejak dirinya lahir (fitrah). Akan tetapi fitrah ini tidak ada jaminan akan abadi pada manusia. Bahkan fitrah ini terkesan mudah hilang dan sirna apabila tidak dirawat secara baik. Fitrah ibarat tunas. Terlalu dibiarkan akan kalah dengan benalu, dan terlalu diikat akan menjadi kerdil. Sehingga upaya mengembangkan yang disertai perawatan itulah cara yang paling bijak.
Upaya ini tentu merupakan hal paling utama bagi umat Islam. Karena iman merupakan hal yang murni pemberian dari Allah Subhanahu wata’ala. Tidak seorang pun bisa menanam benih iman di hati orang lain kecuali Allah Subhanahu wata’ala. Bahkan Rasulullah sekalipun tidak mempunyai hak dalam hal ini. Hal ini bisa kita lihat kisah Abu Thalib pada saat menjelang ajal. Rasulullah minta Abu Thalib untuk mengucapkan satu kalimat, dimana jika ia mau mengucapkannya Rasulullah akan menjadi pembelanya di hadapan Allah Subhanahu wata’ala kelak. Kalimat dimaksud adalah kalimat syahadat.[1] Akan tetapi Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
إنك لا تهدي من أحببت ولكن الله يهدي من يشآء وهو أعلم بالمهتدين. (القصص: 56
Artinya, “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (Al-Qashash: 56)
*****
Untuk mengembangkan dan merawat akidah ini, Allah Subhanahu wata’ala telah memberi dua bekal dan dua sarana kepada setiap manusia. Ini karena setiap manusia yang dilahirkan sudah dalam keadaan fitrah. Orang menjadi Yahudi, Nasrani, Majusi, atau agama lainnya karena adanya pengaruh lain. Sehingga, memperkuat akidah dan iman bisa dikatakan sebagai upaya untuk mengembalikan manusia kepada fitrah tadi.
Dua bekal dan sarana dimaksud sudah diisyaratkan Allah Subhanahu wata’ala dalam Alqur’an,
الذين يذكرون الله قياما وقعودا وعلى جنوبهم ويتفكرون في خلق السموات والارض ربنا ما خلقت هذا باطلا سبحانك وقنا عذاب النار. (آل عمران: 191)
Arinya, “Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, atau duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka’.” (Ali Imran: 191)
Dua alat dimaksud adalah hati dan pikiran, sedangkan dua sarananya adalah Allah Subhanahu wata’ala dan alam ciptaanNya (makhluk). Yang perlu kita ketahui, dua bekal dan dua sarana ini merupakan modal yang tidak boleh salah dalam menggunakan. Karena masing-masing mempunyai tugas yang berbeda. Hati untuk merawat atau menjaga iman, sedangkan pikiran untuk mengembangkan atau memperdalam iman. Jika salah dalam menggunakan, bukan iman yang akan didapat, tapi justru sesat yang mungkin akan mendekat.
*****
Untuk menggunakan hati sebagai alat merawat, Allah Subhanahu wata’ala hanya menyediakan satu objek, yaitu untuk mengingat Allah Subhanahu wata’ala. Apabila hati digunakan untuk mengingat kepada selain Allah Subhanahu wata’ala, hati akan semakin disesaki dengan hal-hal yang diingat tersebut. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
ومن أعرض عن ذكري فإن له معيشة ضنكا ونحشره يوم القيامة أعمى. (طه: 124
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (Thaha: 124)
Dengan kata lain, orang yang menggunakan hatinya untuk mengingat selain kepada Allah Subhanahu wata’ala, ia akan semakin jauh dari fitrahnya, imannya akan semakin gersang dan hatinya akan menjadi buta. Allah Subhanahu wata’ala sengaja mempersiapkan hati untuk mengingat kepadaNya. Ini tidak lain karena hati adalah sebaik-baik organ tubuh, dan Allah Subhanahu wata’ala adalah sebaik-sebaik seluruh wujud yang ada. Sehingga sudah semestinya organ terbaik untuk wujud terbaik. Dari sini hati kemudian menjadi pengendali seluruh kegiatan organ tubuh. Rasulullah bersabda,
…ألا وان في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله وإذا فسدت فسد الجسد كله ألا وهي القلب (البخاري، رقم 50
Artinya, “Ingat, sungguh di dalam tubuh terdapat segumpal darah, apabila ia baik, seluruh (organ) tubuh akan baik, dan apabila ia buruk, seluruh (organ) tubuh akan buruk. Ingat, ia adalah hati.” Jika hati digunakan untuk mengingat kepada selain Allah Subhanahu wata’ala, ibarat kita memberi makan tidak sesuai dengan jenis makanan yang semestinya.
Dalam surat Ali Imran di atas, Allah Subhanahu wata’ala tidak membatasi bentuk dan waktu tertentu untuk berzikir atau mengingat kepada Allah. Manusia boleh berzikir kepada Allah Subhanahu wata’ala dalam keadaan apa saja, berdiri, duduk, bekerja maupun apa saja. Karena dalam mengingat Allah Subhanahu wata’ala target utamnya adalah agar manusia terbiasa mengingat Allah Subhanahu wata’ala tanpa terputus. Bahkan dalam suluk tarekat sendiri diyakini bahwa semua bentuk dan jenjang zikir yang diajarkan adalah untuk membiasakan manusia agar terlatih untuk selalu ingat kepada Allah Subhanahu wata’ala. Oleh karena itu dalam ayat lain Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
يا أيها الذين أمنوا اذكروا الله ذكرا كثيرا. (الأحزاب: 41
Artinya, “Hai orang-orang beriman, berzikirlah (kepada) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.” (Al-Ahzab: 41). Dengan kata lain, di dalam berzikir tidak ada istilah kebanyakan, yang kemudian membuat orang tersebut kehilangan imannya. Akan tetapi jika yang diingat selain Allah Subhanahu wata’ala, maka semakin banyak yang diingat, semakin gersang iman di hati.
*****
Namun demikian, apabila upaya seseorang untuk memperdalam akidahnya hanya melalui zikir, iman tersebut tidak memiliki akar yang kuat. Imannya akan sangat labil dan rentan tercerabut. Dalam salah satu hadis Rasulullah bersabda,
تفكر ساعة خير من عبادة سنة
“Berpikir sesaat lebih baik dibanding ibadah satu tahun.” Oleh karena itu, disamping iman harus dijaga dengan hati, iman juga harus dikawal untuk berkembang. Untuk mengembangkan inilah Allah Subhanahu wata’ala membekali manusia dengan akal pikiran.
Hal yang perlu diketahui, jika tugas hati adalah untuk mengingat Allah Subhanahu wata’ala, maka tugas akal adalah untuk memikirkan kepada selain Allah Subhanahu wata’ala. Akal harus diberanikan menyusuri dan mengenali ayat-ayat kebesaran Allah Subhanahu wata’ala. Dengan lebih banyak mengenali tanda kebesaran Allah Subhanahu wata’ala, manusia akan sadar bahwa dirinya hanyalah bagian kecil di antara makhluk ciptaan yang lain. Jika pun manusia mampu berpikir banyak tentang penciptaan makhluk, manusia hanya mampu sebatas itu. Tidak ada kemampuan sedikit pun untuk membuat apa yang ia pikirkan. Jangankan membuat seluruh apa yang ia pikirkan, membuat sebutir beras pun ia tidak mampu. Dengan menyadari hal-hal seperti ini, manusia telah menumbuh-kembangkan iman yang telah Allah Subhanahu wata’ala anugerahkan kepadanya.
Hal yang perlu diperhatikan, akal pikiran tidak dibenarkan memikirkan tentang Allah Subhanahu wata’ala. Jika di atas disebutkan hati hanya untuk mengingat Allah Subhanahu wata’ala, maka di sini sebaliknya. Akal pikiran tidak sekalipun dibenarkan untuk berpikir tentang Allah Subhanahu wata’ala. Jika porsi ini terbalik, hanya binasa yang akan terjadi. Dalam hal ini Rasulullah bersabda,
تفكروا في خلق الله ولا تتفكروا في الله
“Berpkirlah kalian tentang makhluk Allah, dan jangan kalian berpikir tentang Allah.”
Dapat dipahami, akal tidak sekali pun diberi kesempatan untuk mengenal Tuhan. Hal maksimal yang bisa dicapai akal adalah mengenali dirinya. Yaitu dengan lahirnya kesadaran tentang keterbatasan dirinya dan meyakini segala keagungan Tuhannya. Dengan kesadaran seperti ini akal telah mencapai batas maksimal, dan itu sama artinya ia telah mengenali Tuhannya. Rasulullah bersabda,
من عرف نفسه فقد عرف ربه
“Barangsiapa mengenali dirinya, maka ia telah mengenali Tuhannya.”
*****
Melalui gambaran peta tugas ini, Allah Subhanahu wata’ala membuat contoh konkrit dalam Alqur’an melalui kisah Nabi Ibrahim Alaihissalam, baik pada saat ia mengembangkan iman melalui akalnya, maupun meneguhkan iman dalam hatinya.
Ketika Nabi Ibrahim Alaihissalam berpikir keras tentang bagaimana Tuhan kelak menghidupkan kembali orang mati, Allah Subhanahu wata’ala segera memberi jawaban agar Ibrahim Alaihissalam memotong empat burung merpati. Kemudian burung-burung tersebut diperintahkan untuk diremukkan dan diletakkan di beberapa gunung secara terpencar. Setelah itu Ibrahim Alaihissalam diperintahkan untuk memanggil burung-burung tersebut, maka segeralah burung-burung tersebut beterbangan menuju ke arahnya.
Dari kisah ini ada teladan bahwa kita harus berani memacu akal kita untuk berpikir lebih banyak hal, sekaligus mencari jawaban-jawabannya. Jika hal ini tidak kita lakukan, maka sama saja kita tidak memperkuat akar iman kita.
Namun demikian, akal juga tidak dibenarkan dibiarkan mencari jawaban sendiri. Akal harus dikawal dengan hati karena akal lebih sering mengalami keterbatasan. Ketika dalam kondisi terbatas inilah kita tidak bisa memaksakan akal untuk memastikan jawaban. Pada saat seperti inilah kendali harus diambil alih oleh hati.
Teladan yang sama tentang sikap ini juga dialami oleh Ibrahim Alaihissalam, yaitu ketika ia dilemparkan ke kobaran api. Secara nalar pikiran, Ibrahim Alaihissalam akan hangus oleh api yang berkobar, namun Ibrahim Alaihissalam menolak ajakan pikiran itu. Ia lebih berpihak pada hati untuk menyerahkan segalanya kepada Allah Subhanahu wata’ala. Dan terbukti, Ibrahim Alaihissalam selamat dari kobaran api kendati harus berlawanan dengan hukum akal.
Dua contoh ini bisa kita jadikan teladan bahwa disamping akal harus kita pacu, hati juga harus kita siagakan agar iman tidak lepas dari hati.
Dari urian di atas rincian bentuknya bisa kita pilah sebagai berikut,
1. Hati —– Allah = (benar)
2. Hati —– Makhluk = (tidak benar)
3. Pikiran —– Makhluk = (benar)
4. Pikiran —– Allah = (tidak benar)
*****
Untuk mengawal kiprah akal dan tugas hati, para ulama kemudian membuat beberapa teori yang biasa dirangkum dalam ilmu kalam. Ilmu ini oleh sebagian orang disebut hal baru (bid’ah) yang tidak diajarkan oleh Rasulullah. Namun yang perlu kita ketahui, tujuan utama kita adalah sampai pada ajaran yang dibawa Rasulullah bukan soal teori. Untuk mencapai isi tersebut para ulama kemudian membuat teori agar orang yang ingin sampai kepadanya tidak tersesat. Bagi para sahabat, teori tersebut tentu belum diperlukan, karena setiap hal yang belum mereka ketahui bisa langsung ditanyakan kepada Rasulullah. Sehingga bid’ah baru bisa dipastikan apabila hal tersebut berhadapan dengan larangan yang datang dari Rasulullah.
Oleh karena itu lahirnya Abu Hasan Al-Asyari bukan berarti hal baru dalam Islam, tetapi sebagai cara agar pemahaman orang tentang akidah bisa kembali seperti yang dikehendaki para sahabat.
*****
Bagi penulis, memahami metode merupakan hal penting, kendati metode tersebut tidak bersifat mengikat. Apa yang dihasilkan oleh orang semisal Abu Hasan Al-Asy’ari adalah ijtihad, sehingga ia hanya mengikat pada orang yang menghasilkan ijtihad tersebut. Bagi orang lain, ia berhak memilih metode lain selama ia memiliki alasan bahwa pilihan tersebut dinilai lebih tepat.
Wallahu A’lam bis Shawaab
*****
________________________________________
[1]. Musnad Ahmad,
ustad..hati sya prcya kpd allah tpi pikirn sya slalu ragu2,shngga mmbuat sya pusing,bgaimna solusiny ?