Suara Alumni: dari Banyumas Hingga Terbang Tanpa Batas
“Selalu utamakan kualitas dibanding kuantitas. Di luar pondok kamu akan menjalani kehidupan yang sangat beragam. Usahakan kelilingi dirimu dengan ilmu, baik dengan menjadi pelajar atau pengajar. Dengan begitu maka kamu akan aman.”
Kurang lebih begitulah sebuah pesan yang disampaikan oleh almaghfurlah KH. Mukhlas Hasyim. Petuah tersebut telah berhasil membesarkan hati salah seorang santri Al Hikmah 2 yang telah berhasil mengarungi berbagai tempat di belahan dunia. Dia adalah Ibnu Galih Madini.
Pria yang akrab dipanggil Galih ini merupakan santri asal Banyumas yang kini tengah melanjutkan studi lanjutnya di Universitas Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Berangkat dari dawuh Abah Mukhlas tersebut, Galih pun ‘memberanikan’ diri untuk bermimpi setinggi mungkin; menjadi presiden RI 2049.
Ia mengawali jejak langkahnya dengan bergabung di pelbagai komunitas dan organisasi yang mengacu pada bidang pendidikan, pengembangan pemuda, bahasa, pemerintahan, politik, dan isu internasional.
Selepas lulus dari MA Alhikmah 2, Galih memutuskan untuk gap year alias menunda perkuliahaan demi menunggu kepastian beasiswa PBNU ke Tunesia. Namun hal tersebut tidak lantas membuatnya berleha-leha dan menyia nyiakan waktu.
“Aku manfaatkan waktu satu tahun itu untuk mendalami bahasa Inggris dan Prancis di Pare, Kediri. Setelah dua bulan di Pare, aku berinisiatif keliling ke kampus-kampus top di pulau Jawa seperti Unair, UB, UGM, Undip, hingga UI untuk bertukar pikiran dengan mahasiswa di sana,” tuturnya.
Tak hanya berkeliling kampus-kampus tertentu, Galih juga menjadi relawan di MTs Pakis, sebuah sekolah alam tanpa guru yang ada di desanya. Dia dan pemuda-pemuda lain bahu-membahu membangun sebuah komunitas pemuda inklusif bagi semua kalangan. Dari tangannya lahirlah Poedjadi Gens, sebuah komunitas yang aktif bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan komunikasi.
Kesadaranya tergugah berawal dari sekolah alam itu. Ketika Galih harus melanjutkan studinya di Jogja, ia pun kembali bergabung dengan banyak organisasi yang mengantarnya terbang ke kancah internasional. Dari sana ia terpilih menjadi duta Asean Youth Ambassador (AYO), eMpowering Youth Across ASEAN (EYAA) Cohort 3, G20 Indonesia, the 5th World Conference on Constitutional Justice, dan berbagai kegiatan menarik lainnya.
Pengalamanya membuahkan pemikiran bahwa santri harus turut mengambil peran di dunia internasional. Hal itu tidak lain karena santri memiliki kapabilitas ilmu keagamaan lebih banyak dibanding akademisi lain.
“Menilik dari sejarah masa pertengahan peradaban islam yang merupakan salah satu peradaban tertinggi dan paling maju di dunia. Banyak orang islam yang menjadi ahli terkemuka di berbagai bidang. Artinya, ilmu saat itu dijunjung tinggi,” komentarnya.
Ia berpendapat bahwa sebagai seorang muslim, sudah selayaknya kita membuktikan pada dunia bahwa cahaya islam itu masih ada. Namun sudah pasti jalan untuk melalui itu penuh tantangan.
Maka dari itu membekali diri dengan ilmu modern sangatlah penting. Kemampuan berbahasa asing, terutama Inggris, merupakan hal mutlak yang harus dimiliki santri untuk bisa bersaing secara global.
Ia menambahkan, “Santri perlu menjadi pribadi yang pintar dan peduli. Kenapa pintar, agar mau bersaing secara global. Kenapa peduli, Indonesia banyak masalah, santri perlu menjadi agen pembuat karya untuk menghiasi Indonesia.”
Begitulah jihad santri. Dari Galih kita belajar bahwa meski tinggal di pesantren tidak lantas mengisolasi mimpi untuk terbang yang tinggi. Santri tidak boleh hanya diam berpangku tangan. Sudah sepatutnya santri hadir sebagai sosok berintegritas tinggi dengan bekal akhlak yang terpuji.