cerpenHeadlineSantri Menulis
Trending

Si Kecil Argasa

Liputan langsung dari Aleppo, Suriah, tiga puluh menit yang lalu baru saja terjadi serangan udara yang diluncurkan ke rumah warga setempat. Dalam seketika suasana tenang berganti menjadi duka.

“Sejauh ini dilaporkan Masjid dan lima rumah hancur, banyak korban yang tertimpa runtuhan bangunan dan belum ditemukan. Terdapat lima belas korban luka-luka, dua puluh orang meninggal termasuk orang tua, wanita dan anak-anak.” Kurang lebih seperti itulah berita dari liputan saat ini.

Namaku Faya, aku hanya seorang seniman free lancer sederhana, dan aku ditugaskan untuk mengasuh anak dari tetanggaku, Pak Wira.

Anak yang ku asuh bernama Argasa, ia baru pindah bersama ayah angkatnya ke daerah ini sekitar dua bulan lalu. Belakangan ini ia mulai sering dititipkan dirumahku. Kami sudah dekat seperti kakak beradik.

“Lho Argasa? Kenapa kamu bangun? “tanyaku pada bocah kecil itu.

“Kak fayaaa!” teriak Argasa, “kayaknya tadi Argasa mimpi buruk lagi deh….” jawab Argasa pelan.

“Apa? Mimpi yang sama lagi?”

“Iya….” desah Argasa

Lalu aku pun membuatkan susu untuknya dan menyajikan sekaligus menemani hingga Argasa tertidur. “Argasa bobo… Oh Argasa bobo… kalau tidak… grook… grook” aku menyanyikannya sebuah lagu, hingga tampa tersadar justru aku yang tertidur lebih dulu.

“Kakak! Kenapa jadi kakak yang bobo?!”

***

Sore ini, tiba-tiba saja hujan mengguyur rumahku. Disaat itu aku dan Argasa sedang bercerita ria. “Eh, alhamdulillah akhirnya hujan. Ceritanya kita lanjut nanti malam saja ya, kakak mau lanjut kerja,” ucapku kepada Argasa.

“Kalau dingin jendelanya tutup aja ya,” sambungku.

“Iya, kak,” jawab Argasa sembari menuruti perintahku. Lalu Argasa pun menutup jendela, tapi tiba-tiba ada sesuatu yang mengagetkan Argasa.

CRAAKKK DHUARRRR!!!

“Kakaaakk!!” Dengan cepat ia berlari menghampiriku.

“Itu suara apa kak? Suara itu!” tanya Argasa terengah-engah.

Aku yang terkejut karena Argasa yang tiba-tiba berlari, langsung paham akan semua itu.

“Suara? Maksud kamu petir?” jawabku, “kenapa? Belum pernah melihat petir?”

Agaknya aku salah bertanya. Si kecil itu seketika berkaca-kaca. “Dirumah Argasa kalau ada suara itu semua lari ketakutan,” air matanya pun mengalir tak dapat dibendung, “Argasa dan ayah sembunyi ditempat gelap atau dibawah tempat tidur. Argasa takut, tapi ada ayah, Argasa nunggu sampe suaranya berhenti. Waktu udah selesai, Argasa melihat banyak rumah hancur….”.

mendengar hal itu hatiku seakan gemetar. “Ohh… maaf, kakak lupa…” Kataku sembari memeluknya hangat.

Ada satu hal penting tentang Argasa yang ingin aku ceritakan pada kalian….

Argasa bukanlah anak umur enam tahun biasa. Dia berasal dari sebuah tempat yang jauh, dimana anak-anak seperti dirinya tak bisa punya masa kecil yang indah. Maka aku merasa bahwa dia harus tahu rasanya bermain seperti anak-anak lain.

“Tapi… tenang aja Argasa, kita gak perlu sembunyi kok…. Itu hanya hujan.” ucapku menenangkan. Aku ingin mengajak Argasa bermain hujan.

“Enggak?” Tanya Argasa heran.

Lalu, aku pun mencari jas hujan dan payung untuk dipakai agar melindungi tubuhnya dari hujan. Juga, sepatu boot untuk Argasa.

Kemudian aku menarik Argasa keluar. Kami berdua pun bermain hujan-hujanan. Aku mengajaknya bersenang-senang di bawah rintik hujan yang lumayan deras.

“Ternyata hujan itu asyik ya, Kak. Argasa udah gak takut lagi.” ucap Argasa senang.

Kali ini aku mengajaknya pergi ke taman. Ku biarkan saja dia bermain sesukanya, sembari aku menyelesaikan tugasku.

Ada beberapa anak yang mendatangi Argasa, lalu mereka mengajak Argasa bermain. Mengenali sesuatu yang Argasa tidak tahu. Dan Argasa pun mulai bercerita lagi tentang rumahnya.

“E.. emangnya kamu datang dari mana sih?” Tanya salah satu anak penasaran.

“Rumah Argasa di Syiria. Kata ayah di Syiria ada perang. Jadi Argasa harus pergi kesini.” jawab Argasa.

“Perang?!” sontak beberapa anak itu kaget.

Begitu banyak pertanyaan yang dilontarkan kepada Argasa. Lalu Argasa menjawabnya.

“Dirumah Argasa dulu, ayah ajak Argasa ketaman kayak gini, tapi tiba-tiba ada bunyi NGIUNGGG!! terus Ayah teriak nyuruh Argasa buat tutup telinga dan jangan liat. Terus Argasa dibawa lari Ayah..” cerita Argasa.

Lalu mereka mendengarkan dengan serius, Argasa pun melanjutkan ceritanya. 

“Semuanya hancur, tanaman, rumah terbakar, mata Argasa sakit. Ayah bilang jangan sedih, kita bakal pergi dari sini, ta-tapi tapi…”

“Oke stop, kita udah ngerti kok.” potong salah satu anak yang paham akan kondisi itu.

Mereka pun melanjutkan bermain hingga pekerjaanku selesai.

Ayah Argasa masih ada, tapi mereka terpaksa berpisah. Argasa diadopsi oleh Pak Wira supaya mudah untuk pergi keluar dari negaranya. Jarang sekali anak korban perang bisa diadopsi, apalagi kalau orang tuanya masih ada.

“Sebetulnya, ayah kandungnya sangat ingin ikut, tapi karna suatu kejadian beliau harus dirawat dirumah sakit. Beliau memohon supaya saya bisa bawa anak ini karena mereka tidak punya keluarga lain disana”. ucap Pak Wira saat baru datang menghantar Argasa.

Kini, hari sudah larut. Aku masih mengerjakan tugas gambarku. Tak kurasa kini sudah pukul selebar malam. Argasa pun sudah tertidur pulas.

“Jadi ikutan ngantuk.. oke deh, aku harus cepat menyelesaikan ini…” aku menyemangati sendiri.

Tak lama kemudian, Argasa berteriak lagi, seperti biasa dia mimpi buruk, dan mimpi yang sama lagi.

“Ayaaahh!!!” teriak Argasa

“Argasa, hei… Argasa bangun.. kamu mimpi lagi?! tenang, Argasa, tenang… ”

“Kak Fayaaa! Argasa mimpi ayah lagi! Argasa denger ayah, tapi semua gelap.. Argasa ga bisa lihat wajah ayah… hiks…hiks…” jelas Argasa sembari merintihkan air mata.

“Kasihan… Anak sekecil ini harus berpisah sama ayah kandungnya.. jelas saja selalu mimpi buruk…” batinku.

Lalu aku mengajak Argasa keluar rumah untuk melihat bintang-bintang di langit. Aku menggendongnya dan membawanya keluar sambil menutup matanya. Sesampainya di luar,

“Nah.. buka mata! Lihat ke atas…” ucapku sambil menunjuk langit.

“Waaaww”, Argasa terkejut bahagia.

“Bintang! Banyak bintang!” Sambung Argasa.

Lalu aku pun mengenali nama-nama bintang kepada Argasa, juga menangkap kunang-kunang dan melepaskannya. Sampai kita tertidur diluar.

Argasa tinggal di kota Homs Syiria bersama ayah dan bundanya. Di Syiria ada perang, karena ada perang bunda Argasa sakit dan meninggal. Ayah Argasa bilang, Argasa harus kuat seperti ayahnya. Argasa takut Karna di Syria banyak pesawat jet yang bawa bom.

Suatu hari, Pak Wira datang bertemu ayah, dia datang dari Indonesia mau menolong anak-anak Syira. Lalu Pak Wira bilang kalau dia ingin membantu ayah dan Argasa pindah ke Indonesia.

Matahari semakin menyombongkan sinarnya. Didampingi oleh awan-awan putih yang bergelantungan di laut angkasa, aku mencoba memasak makanan yang enak. Argasa yang sedang asyik menggambar ditemani dengan lagu anak-anak.

Setelah selesai menggambar, Argasa pun keluar menaiki ayunan yang terbuat dari ban bekas.

“Argasa! Katanya mau makan?! Nii makanannya sudah jadi” ucapku yang telah usai masak.

Tak ada respon apapun dari Argasa, Aku pun mendatanginya.

“Argasa yuk makan” ucapku sembari menggandeng argasa. Tiba-tiba saja Argasa jatuh pingsan.

“Argasa?! Kamu demam yaa?!” Tanyaku panik sambil menyentuh keningnya. Aku membawa Argasa masuk ke dalam kamar, dan menunggu sampai dia terbangun.

Tak lama kemudian, “Eung.. Ayah..? Kapan Ayah datang?” Igau malaikat kecil itu.

“Argasa, Ayah bentar lagi datang kok.. kamu sembuh dulu ya, kamu makan dulu…” ucapku menenangkan.

Hari-hari pun berlalu, Argasa pun sudah tidak sakit lagi. Kini, saatnya kami pergi ke sebuah pantai untuk menemani Argasa mengikuti lomba menggambar layang-layang untuk anak-anak Suriah. Argasa duduk bersama anak-anak lainnya.

“Kamu ikut lomba juga?” Tanya salah satu anak kepada Argasa.

“Iya.” jawab Argasa dengan senyum terukir di wajahnya.

“Curang! Kamu kan dari Suriah! Pasti menang”. Celetus anak itu kepada Argasa.

Lalu, mereka mendengarkan Kak Ida yang mengisi acara pada hari itu. Menjelaskan tentang Suriah, dan bercerita sedikit tentang Suriah.

“Bukan cuma itu, tapi anak-anak seperti kita banyak yang menjadi korban. Banyak sekali keluarga yang pergi mengungsi, tapi mereka masih berjuang untuk bisa hidup seperti kita. Ayo, sekarang kita menggambarkan hal favorit kita untuk teman-teman kita disana!” Ucap Kak Ida, dan langsung membagikan bahan layang-layang.

Dua jam kemudian anak-anak yang telah selesai menggambar, harus menceritakan tentang gambaran nya, dan diberikan pada masing-masing orang tua mereka. Setelah mendengar cerita anak-anak lain, kini saatnya Argasa menceritakan tentang gambarannya, tapi gambar nya tidak ada di Pak Wira , dan Argasa pun bingung harus bagaimana.

“Lagi diambil, Coba diceritakan dulu saja…” ucap Pak Wira

“Tapi kan eugh… Argasa datang dari Syria, Argasa tinggal sama Pak Wira , tapi suka main dirumah Kak Faya. Argasa seneng banget tinggal disini, Argasa pengen teman-teman Argasa yang di Syiria bisa terus tinggal sama keluarganya”. Argasa menceritakan dari lubuk hati.

Setelah Argasa merampungkan ceritanya, Seorang Pria bertongkat datang dengan layang-layang di tangannya.

“Argasa!” panggil pria itu.

Argasa pun menoleh ke arah suara yang berasal dari samping panggung.

“Argasa…ini Ayah sayang..!” Sambung nya.

Sontak Argasa berlari menuju Seorang Pria yang diketahui adalah  Argasa. Selama ini Ayahnya menjalani pengobatan di Syiria dan belum sempat ke Indonesia bersama Argasa. Tetesan air mata Argasa jatuh di pelukan Ayahnya.

“Kenapa Ayah lama banget..?!” Tanyanya dengan air mata yang mengalir deras.

“Sssssttt.. Ayah disini sayang, ayah udah disini..” jelas Ayahnya .

Semua orang yang ada di sekitar pantai itu terharu melihat pemandangan ayah dan anak yang sudah lama berpisah karena adanya perang di Syria. 

Akhirnya mereka bisa bertemu lagi dihari itu. Berkat bantuan Pak Wira dan relawan organisasi komunikasi lainnya.

“Terima kasih…” ucap ayahnya kepada semua yang telah membantu dan menemani Argasa selama ini.

Dan sekarang, ayah Argasa begitu juga dengan Argasa tinggal di salah satu rumah kos didaerah sekitar rumahku.

Argasa tetap bermain di rumahku setiap minggu bersama teman-teman barunya. Dan kami selalu ada satu sama lain.

Terimakasih telah membaca!

Penulis: Cycadophyta Phoenix Dactilyfera

Related Articles

One Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button