Agendaartikel santriBeritaKhazanahpengajianPesantren Kami

PENTINGNYA MEMPELAJARI KEILMUAN SECARA BERTAHAP

Selama kunjungannya di Pondok Pesantren Al Hikmah 2, Syaikh Sa’id Muhammad ‘Ali menyampaikan muhadharah ammah (ceramah umum) dengan tema Ahammiyyatuttadarruj fi Tholabil ‘Ilmi (Pentingnya Bertahap dalam Menuntut Ilmu).

Baca juga Muhadhoroh Sesi Pertamanya disini!

Di awal pemaparan, beliau menekankan bahwa setiap tingkatan tholibul ‘ilmi (pelajar/santri) memiliki kitab-kitab yang sesuai dengan levelnya. Hal ini sejalan dengan tradisi para ulama yang menyusun kitab dengan berbagai tingkat kesulitan, mulai dari level mubtadi (pemula/SLTP), tsanawi (menengah/SLTA), hingga ‘aliyah (lanjut/universitas). Oleh karena itu, sangat penting bagi santri untuk mempelajari kitab-kitab tersebut secara berurutan sesuai dengan kemampuannya.

Sebagai contoh dalam ilmu Nahwu, Syaikh menjelaskan urutan pembelajarannya:

  • Tingkat Dasar: Kitab Al-Ājrūmiyyah dan Mutammimah al-Ājrūmiyyah.
  • Tingkat Menengah: Kitab Qaṭr al-Nadā wa Ball al-Ṣadā dan Syarb Ibn ‘Aqīl ‘ala Alfiyyah Ibn Mālik.
  • Tingkat Lanjut: Kitab Alfiyyah Ibn Mālik dan Mughnī al-Labīb ‘an Kutub al-A’ārīb.

Selain kitab turats, Syaikh juga menjelaskan bahwa ilmu yang dipelajari santri harus disesuaikan dengan usia dan kemampuan. Beliau menyebutkan empat keterampilan dasar yang wajib dikuasai seorang santri sejak dini:

  1. Khat (seni menulis indah)
  2. Imla’ (kemampuan mendikte)
  3. Ta’bir/Insya’ (keterampilan mengarang dan menarasikan)
  4. Hisab (ilmu berhitung)

“Semua keilmuan yang akan dipelajari di masa depan membutuhkan keempat pondasi ini,” tegas beliau.

Syaikh kemudian memberikan pernyataan penutup yang tegas: “Dengan mempelajari ilmu secara bertahap, kita dapat membangun struktur keilmuan yang baik dan benar. Sebaliknya, tanpa tahapan yang jelas, pengetahuan kita akan berantakan dan tidak terstruktur.”

Pada sesi tanya jawab, seorang santri mengajukan pertanyaan kritis: “Dalam ilmu hadits, kita dapat mengetahui sanad sebuah hadits karena tercantum dalam kitab. Lalu, bagaimana dengan sanad keilmuan lain yang tidak tertulis?”

Dengan lugas, Syaikh menjawab bahwa sanad keilmuan non-hadits (seperti Fiqih, Nahwu, atau Tasawuf) dapat diperoleh seorang santri melalui ijazah langsung dari gurunya. “Seorang guru akan menjelaskan dan memberikan sanad bahwa ilmu itu ia terima dari gurunya, yang juga menerima dari gurunya, dan seterusnya hingga sampai kepada pengarang kitab, bahkan hingga Rasulullah SAW. Wallahu a’lam bish-shawab.”

Penulis: Ahmad Hifdzi Amanullah

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Check Also
Close
Back to top button