KISAH RABI’AH AL-ADAWIYAH
Kisah yang diceritakan,ketika suami Waliyullah, Rabi’ah al-Bashariyyah (al-Adawiyyah) Ra meninggal, Hasan al-basri (salah seorang pembesar tabi’in) dan teman-temannya minta izin untuk berkunjung menemuinya, Rabi’ah mengizinkan mereka untuk masuk. Kemudian ia menjuraikan kain penutup dan duduk di belakang kain penutup tersebut.
Hasan al-Bashri dan teman-temannya berkata ”suamimu telah meninggal,maka pililah yang kamu suka diantara orang-orang yang ahli zuhub ini”.
Rabi’ah menjawab: ”baiklah,dengan senang hati dan penuh hormat. Siapa diantara kalian yang paling alim, dialah yang akan jadi calon suamiku”.
”Hasan al-Bashri”, mereka menjawab serentak. Dan kepada Hasan al-Bashri Rabi’ah berkata ”jika kamu dapat menjawab empat pertanyaan ini,maka aku siap menjadi istrimu”.
” Silahkan bertanya, jika Allah memberi taufik maka aku akan jawab”.
”Tahukah kamu, nasibku dikemudian hari,seandainya aku mati,apakah aku meninggalkan dunia ini dalam keadaan muslim atau kafir?”.
”Ini adalah perkara ghoib.”
”ketika manusia dikumpulkan dipadang masyar pada hari kiamat,maka kitab-kitab catatan amal perbuatan mereka yang dicatat oleh malaikat Hafadzoh (penjaga) diterbangkan oleh angin dari tempat penyimpanannya dibawah Arasyatas perintah Allah dan kitab-kitab tersebut menempelpada leher pemiliknya.
Diantara yang diberikan kitab catatan amal perbuatan dengan tangan kanan dari hadapannya, dialah orang-orang mukmin yang taat. Sementara yang lain ada juga yang diberi kitabnya dari belakang punggungnya, dialah orang kafir. Apakah aku akan menerima kitab catatan amalku dengan tangan kananku atau dngan tangan kiriku?
”ini juga perkara yang ghoib.”
”jika pada hari kiamat suatu kelompok lain keneraka, maka apakah aku termasuk ahli surga atau ahli neraka?”
”Ini juga perkara yang ghoib”
Terakhir Rabi’ah menutup dengan peranyaan ”Apakah orang yang memperhatikan keempat perkara ini sempat memikirkan pendamping?”
Suatu ketika suaminya pernah bercerita ”Pada suatu hari aku sedang menikmati hidangan dan ia pun duduk disisiku, akan tetapi ia duduk sambil mengingat-ngiat peristiwa menakutkan yang terjadi pada suatu hari kiamat lalu aku berkata kepadanya ”Sudahlah,biarkan kita menyantap hidangan ini”
Dilain waktu ia pernah berkata ”Demi Allah, aku tidak mencintaimu seperti halnya seorang istri,melainkan cintaku ini hanya sebatas cinta seseorang kepada temannya”
Ketika rasa cinta hamba kepada Allah telah sampai pada puncaknya,maka ia ingin salalu manjauh dari sesama makhluk itu hanya sabagai penghalang untuk dapat khusyu’beribadah kepadanya. Tetapi sekiranya ia lebih mendalami ma’rifat (pengenal) terhadap Allah,tentu ia tidak dapat terhalangi oleh suatu apapun, sebab Allah berada pada segala sesuatunya. Sekiranya derajat itulah yang telah diraih oleh Rabi’ah seperti dalam kisah singkat diatas.
Kalau orang arif mengatakan dirinya bijak dia celaka,
kalau orang pintar mengatakan dirinya pintar dia celaka
Kalau orang mencintai seseorang tetapi diam tidak
Mengatakannya, dia juga celaka.
{Al-Bustomi}