Bermukena Tanpa Kenakan Baju Bagi Perempuan, Sahkah Salatnya?
Mukena adalah pakaian khusus salat yang dikenakan perempuan, khususnya di Negara Indonesia. Hukum bermukena saat melaksanakan salat adalah tidak wajib. Mukena muncul dari hasil penyesuaian wali zaman dahulu ketika melihat mayoritas perempuan Indonesia yang hanya mengenakan kemban (baju tradisional) dalam kehidupan kesehariannya. Para wali penyebar Islam Indonesia berinisiatif membuat mukena supaya pakaian salat perempuan bisa sesuai dengan syariat Islam. Namun, hal ini berbeda dengan beberapa negara lainnya yang masih sering ditemukan perempuan mengenakan pakaian biasa tanpa mengenakan mukena saat melaksanakan salat.
Dalam hal ini perempuan boleh hanya menggunakan pakaian biasa dengan syarat pakaian suci dan menutup aurat dengan sempurna. Ketika permpuan melaksanakan salat, wajib baginya menutup aurat. Dalam salat, aurat perempuan adalah seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan kedua tangannya. Hukum salat menggunakan mukena tanpa pakaian adalah sah, karena sejatinya mukena merupakan pengganti daripada pakaian salat. Sebagaimana kebolehan salat mengenakan pakaian biasa, salat hanya mengenakan mukena tanpa pakaian juga sah hukumnya, asal tetap memperhatikan syarat-syarat pakaian yang menutup aurat. Dalam hal ini dijelaskan dalam kitab ‘I’anatut tholibbin’, karya Syekh Abu Bakar Syata’, beliau menjelaskan:
و ستر حرة و لو صغيرة غير و جه و كفين ظهر هما و بطنهما الى الكوعين بما لا يوصف لونا أي لون البشرة في مجلس التخاطب.
“Wajib menutup aurat bagi perempuan merdeka meskipun anak kecil, selain muka dan telapak tangan, baik luar dan dalamnya hingga pergelangan tangan, dengan apa saja yang tidak memperlihatkan warna kulitnya.”
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa perempuan bermukena tanpa mengenakan baju saat salat dihukumi boleh, dengan syarat memenuhi kriteria menutup aurat. Namun, jawaban ini adalah jawaban fikih yang legal formal. Fokus utamanya ada pada terpenuhi atau tidaknya peraturan yang ada. Pertimbangan moral atau etika tidak menjadi bagian dalam memformulasikan hukum. Beberapa kelompok ada yang meformalisasikan fikih dengan pemahaman legal moral. Akibat dari pendekatan yang terlalu formalitas ini, banyak ibadahnya terpenuhi secara rukun dan syarat, namun bertabrakan dengan nilai etika.
Maka dari itu, untuk menyikapi hal ini dianjurkan bagi perempuan untuk menutup auratnya saat melaksanakan salat dengan mukena dan berpakain rapi. Nilai dalam pelaksanaan ibadah ini akan lebih utama jika digandengkan dengan nilai-nilai dan etika yaang ada. Terlebih salat adalah media komunikasi hamba dengan Tuhannya, maka sebuah keutamaan bagi seorang muslim bisa menggandeng etika dalam kajian hukum Islam, baik etika sesama hamba maupun etika kepada Allah.
Menyikapi permasalahn di atas mengenai mukena yang dikenakan ketika salat, lantas bagaimana syarat mukena atau pakaian yang menutup aurat saat melaksanakan salat? Adapun syarat-syarat penutup aurat ketika salat yang dikutip dari Kitab Mausuah Al Fikih Al Islami, adalah sebagai berikut.
- Berbahan tebal dan tidak tembus pandang
Penutup aurat tidak boleh menyerupai warna kulit atau bisa tembus menampakkan warna kulit seseorang. Pakaian salat bisa dari yang berbahan tebal, berbahan kulit, atau kertas sekalipun. Jika pakaian salat berbahan tipis dan memperlihatkan warna kulit sesorang, tidak sah salatnya. Karena, aurat tidak tertutup secara sempurna. Penutup aurat tidak diharuskan menutup bentuk dan ukuran tubuh karena hal tersebut tidak memungkinkan untuk dipraktikkan. Dalam hal ini dijelaskan oleh Prof. Dr. Ali Musthafa Ya’qub, M.A. dalam bukunya Cara Benar Memahami Hadits bahwa Islam tidak memerintahkan kaum muslimin untuk mengenakan pakaian yang tertentu atau model tertentu, namun Islam memerintahkan kaumnya untuk mengenakan pakaian yang longgar dan tidak sempit, tidak transparan pada kulit, pakaian menutup aurat dan pakaiaan yang tidak menyerupai jenis kelamin lain, misal pakaian laki-laki menyerupai pakaian jenis kelamin perempuan.
Hal ini sesuai dengan pendapat Imam Syafi’i, bahwa syarat dari penutup aurat adalah sesuatu yang tidak menampakkan warna kulit, meskipun itu merupakan air yang keruh dan berlumpur. Tetapi yang paling diutamakan adalah kain yang suci.
2. Syarat Mazhab Syafi’i dan Hambali
Penutup aurat harus merupkan pakaian dan sejenisnya. Maka tidak sah jika seseorang salat tanpa berbusana di tempat yang gelap dan sempit, walau tidak ada orang lain di sana. Tetapi, mazhab Hanafi dan Maliki memperbolehkan hal ini karena darurat. Karena yang diutamakan di sini adalah menutup aurat dari orang lain.
3. Kewajiban Menutup Aurat Berlaku untuk Semua Sisi Orang yang Salat Kecuali dari Bawah
Maksud dari Bawah adalah lubang pakaian paling bawah baju seseorang. Jadi, jika ada seseorang yang salat di atas kaca dan di balik kaca itu menampakkan bagian bawah tubuh orang tersebut, salat tetap sah hukumnya. Selain itu, perempuan juga disunahkan untuk mengenakan baju kurung dan kerudung saat salat. Hal ini diperkuat dengan hadis Nabi.
وَعَنْ أُمِّ سَلَمَةَ – رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا- ; أَنَّهَا سَأَلَتْ اَلنَّبِيِّ ( { أَتُصَلِّي اَلْمَرْأَةُ فِي دِرْعٍ وَخِمَارٍ , بِغَيْرِ إِزَارٍ ? قَالَ : “إِذَا كَانَ اَلدِّرْعُ سَابِغًا يُغَطِّي ظُهُورَ قَدَمَيْهَا } أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ وَصَحَّحَ اَلْأَئِمَّةُ وَقْفَهُ
Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bolehkah seorang perempuan shalat dengan memakai baju panjang dan kerudung tanpa sarung (kain)?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Boleh apabila baju panjang itu lebar menutupi punggung atas kedua kakinya.” (Dikeluarkan oleh Abu Daud dan para Imam Hadits menganggapnya mawquf).
Berdasarkan penjelasan di atas bahwa mukena adalah pakaian salat yang sangat sesuai, terutama mukena dengan model terusan yang bisa meminimalisasi kemungkinan aurat tersingkap saat salat.
Penulis: Kamalia Salsabila
Sumber Buku: Perempuan, Ruang Publik dan Islam ‘Telaah atas fiqh perempuan dan ruang perempuan dalam sejarah’, yang disusun oleh SDC (Self Development Club) 2022 MAPK Al Hikmah 2, PonPes Al Hikmah 2 Brebes.