Hukum Tukar Guling Wakaf
Departemen Agama mengeluarkan data pada tahun 2006 bahwa tingkat kesadaran umat islam indonesia untuk berwakaf sangat tinggi. Menurut data yang ada di Departemen Agama Republik Indonesia sampai tahun 2003 dan diperkuat oleh data CSRC (Centre for the Study of Religion and Research) bahwa asset wakaf di seluruh Indonesia adalah 362.471 lokasi dengan luas 1.538.198.586 m2 dan total nilai sekitar 590 trilyun. Sedang menurut data Badan Wakaf Indonesia (BWI), sampai Oktober 2007, jumlah seluruh tanah wakaf di negeri ini sebanyak 366.595 lokasi, dengan luas 2.686.536.565,68 meter persegi. Asset tersebut 79 % berupa pembangunan sarana ibadah (keagamaan) dalam bentuk mushola/ masjid. Sementara untuk kegiatan sosial dan kemaslahan serta kesejahteraan masyarakat (pelayanan kesehatan, panti asuhan dan sarana-saran umum) masih relatif rendah. Terbukti dengan masing-masing hanya sekitar 3 % dari total aset wakaf secara keseluruhan (data Centre for the Study of Religion and Research)
Hal ini disebabkan beberapa faktor: pertama, banyak tanah wakaf yang tidak strategis secara ekonomi, misalnya terletak didaerah pegunungan yang jauh dari pusat kota dan tidak ada alat transportasi yang memadai. Kedua, berkaitan dengan kondisi tanah yang tidak subur (gersang) sehingga sulit untuk dijadikan tanah pertanian yang menghasilkan. Ketiga, kemampuan SDM pengelola wakaf masih sangat minim. Mereka biasanya bekerja paruh waktu dan bukan profesional yang memahami pengelolaan wakaf secara produktif. Keempat, kendala berkaitan dengan pemahaman masyarakat yang kebanyakan menganut pandangan yang melarang penjualan harta wakaf dan penukarannya dengan aset lain yang lebih produktif (Thobieb Al-Asyar: 2003)
Sebagai salah satu kajian dan semoga saja menjadi solusi polemic di atas, disini akan dibahas wakaf tentang pengelolaan wakaf dengan ‘menukar gulingkannya’ karena beberapa sebab.
Tukar guling wakaf dalam bahasa arab sering disebut dengan istibdal wakaf; yaitu menukar wakaf dengan sesuatu, baik wakaf itu dijual terlebih dahulu kemudian diganti dengan barang yang lain atau dipindah lokasinya. Masalah ini masih menjadi polemic di antara pengelola wakaf dan masyarakat. Karena perbedaan persepsi tentang hokum istibdal wakaf (tukar guling wakaf), padahal hokum ini telah dibahas kira-kira 10 abad yang lampau oleh para ulama’ 4 madzhab.
Hukum istibdal wakaf menurut 4 madzhab
Dalam perspektif mazhab Hanafiyah, hukum Istibdal adalah boleh. Landasan kebijakannya adalah kemaslahatan dan manfaat yang abadi yang menyertai praktik Istibdal. Walaupun masih ada perselisihan dikalangan mereka namun jumlahnya tidak terlalu banyak. Selama Istibdal itu dilakukan untuk menjaga kelestarian dari manfaat barang wakaf, maka syarat ”kekekalan” wakaf terpenuhi dan itu tidak melanggar syariat. Jadi yang dimaksud syarat ”abadi” disini bukanlah mengenai bentuk barangnya saja tapi juga dari segi manfaatnya yang terus berkelanjutan.
Dalam kitab Syarh Al-Wiqayah, Abu Yusuf (113-183 H) menyatakan: ”jika barang wakaf sudah tidak terurus dan tidak bisa memberikan keuntungan lagi maka barang tersebut boleh diganti. Walaupun tanpa syarat Istibdal (penggantian) sebelumnya.”
Dalam perspektif mazhab Malikiyah, pelaksanaan Istibdal tidak diperbolehkan menurut sebagian besar ulama malikiyah. Imam Malik melarang tukar guling wakaf pada benda yang tidak bergerak, seperti masjid, kuburan atau jalan raya. Beliau mengecualikan bila dalam keadaan darurat seperti perluasan. Sedang Ulama malikiyah membolehkan menukar gulingkan wakaf manqul (benda bergerak) apabila ditakutkan berkurang manfaatnya. karena barang wakaf yang sudah rusak dan tidak bisa menghasilkan manfaat lagi maka akan menimbulkan biaya perawatan yang lebih besar daripada manfaat yang dihasilkan. Menurut Ibn Rusyd (wafat 1198 M), hukum ini telah mendapat restu dari semua ulama Malikiyah. Terlebih jika barang wakaf tersebut akan bertambah rusak bila dibiarkan.
Dalam perspektif mazhab Syafii, Sementara ulama Syafiiyah sangat hati-hati mengenai pelaksanaan Istibdal wakaf. Mereka tidak memperbolehkan tukar guling wakaf yang bergerak, hal ini berseberangan dengan madzhab malikiyah yang membolehkannya. Sikap ini lahir karena pemahaman mereka mengenai ”kekekalan” wakaf. Kekekalan versi mazhab Syafiiyah adalah kekelan bentuk barang wakaf tersebut. Sehingga terkesan mereka mutlak melarang Istibdal dalam kondisi apapun. Mereka mensinyalir, penggantian tersebut dapat berindikasi penilapan atau penyalahgunaan barang wakaf.
Dalam perspektif mazhab Hambali, madzhab Hambali lebih bersifat moderat (pertengahan) meskipun tidak seleluasa mazhab Hanafiyah. Mengenai Istibdal ini, mazhab Hambali tetap membolehkan dan tidak membedakan berdasarkan barang wakaf bergerak atau tidak bergerak. Bahkan terkesan sangat mempermudah izin untuk melakukan praktik Istibdal wakaf. Mereka berpendapat bahwa jika barang wakaf dilarang untuk dijual —sementara ada alasan kuat untuk itu— maka kita telah menyia-nyiakan wakaf. Ibnu Qudamah berkata,
إن الوقف إذا خرب وتعطلت منافعه، كدار انهدمت، أو أرض خربت وعادت مواتا ولم تمكن عماراتها، أو مسجد انتقل أهل القرية عنه، وصار في موضوع لا يصلى فيه، أو ضاق بأهله ولم يمكن توسيعه في موضوعه، أو تشعب جميعه ولم تمكن عمارته ولا عمارة بعضه إلا ببيع بعضه، جاز بيع بعضه لتعمر به بقيته، وإن لم يكن الانتفاء بشيء منه بيع جميعه
Kesimpulan pendapat mereka, madzhab hanafi paling longgar dalam masalah ini, kemudian diikuti madzhab maliki, di ujung lain madzhab syafii cenderung sangat hati-hati bahkan sebagia ulama’nya melarang mutlak istibdal wakaf. Madzhab hambali pertengahan di antara dua pendapat di atas, tetapi berbeda dalam masalah tukar guling wakaf masjid, tiga madzhab tidak memperbolehkan sedang madzhab hambali memperbolehkan istibdal wakaf masjid dengan beberapa dalil.
Pendapat yang rojih.
Ibnu taimiyah merojihkan bolehnya menjual dan menukar gulingkan wakaf baik wakaf bergerak atau tidak bergerak seperti masjid, dengan syarat barang wakaf tersebut tetap bermaslahat dan pewakaf tidak mensyaratkannya.