Tawassul dibolehkan Syara’
Tawassul bukanlah memohon kepada seorang Nabi atau wali agar keduanya mendatangkan manfaat dan menjauhkan bahaya pada diri seorang manusia
Para ulama salaf, seperti al-Imam al-Hafiz Taqiyuddin al-Subkhi menegaskan bahwa makna tawassul yang benar adalah memohon datangnya manfaat (kebaikan) kepada Allah Swt dengan menyebut nama seorang Nabi atau Wali untuk memuliakan (ikram) kedunya (al-Syarh al-Qowim : 378)
Pemahaman tentang pengertian tawassul yang benar ini menjadi penting, agar kita tak jatuh pada persepsi keliru yang memvonis tawassul sebagai perbutan syirik, sehingga orang yang melakukannya disebut musyrik.
Allah Swt berfirman
وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ
“ Dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya (Allah) (QS. Al-Maidah : 35)
Ayat ini memerintahkan pada kita, untuk mencari segala cara yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Swt. Artinya, carilah sebab-sebab tersebut, kerjakanlah sebab-sebab itu, maka Allah akan mewujudkan akibatnya.
Allah Swt telah menjadikan tawassul dengan para Nabi dan Wali sebagai salah satu sebab dipenuhinya permohonan seorang hamba. Padahal Allah Maha Kuasa tentu dapat mewujudkan akibat tanpa sebab-sebab tersebut. Oleh karena itu, kita diperkenankan bertawassul dengan para Nabi dan wali dengan harapan agar permohonan kita dikabulkan oleh Allah Swt.
Jadi, tawassul adalah sebab yang disahkan oleh syara’ sebagai saran dikabulkannya permohonan seorang hamba. Tawassul dengan para Nabi dan wali diperbolehkan baik disaat mereka masih hidup atau mereka sudah meninggal. Karena seorang mukmin yang bertawassul , sejatiny tetap berkeyakinan bahwa tidak ada yang menciptakan manfaat dan mendatangkan bahaya secara hakiki kecuali Allah Swt. Para Nabi dan Wali tidak lain hanyalah sebab dikabulkannya permohonan hamba karena kemuliaan dan ketinggian derajat mereka.
—disarikan dari buku Membongkar Kebohongan Buku, Mantan Kiai NU menggugat Sholawat & Dzikir Syirik, Penulis : Tim Bathsul Masail PC NU Jember