Telaah Nahwiyah Dalam Al-Qur’an (2)
Kalam
Kalam adalah pokok pembahasan yang pertama kali dilakukan oleh setiap ulama Nahwu dari Syeikh Sonhaji dalam kitabnya Al Jurumiyah hingga Ibnu Malik dalam kitabnya Al Fiyah.
Kalam yang oleh Nuhat (ahli nahwu-red) diartikan dengan : ucapan yang tersusun dari beberapa kalimat dengan baik dan memberikan arti yang dapat dipahami oleh lawan bicara (mukhatab), seperti “ Zaid telah datang atau Zaid berdiri di depan kelas”
Pengertian ini memang dimaksudkan sebagai dasar penyusunan kata atau ungkapan-ungkapan yang benar dan bermakna. Sebab tanpa metode ini kita akan selalu salah dalam menyusun atau memahami sebuah kalimat. Sehingga Al-Qur’an telah mengisyaratkan bahwa penyusunan kalimat yang baik dan benar telah menjadi keistimewaan tersendiri yang tidak bisa ditandingi oleh siapapun orangnya dan betapapun hebatnya orang itu.
Demikian juga dengan makna kalam itu sendiri, itu merupakan bagian dari pemahaman terhadap hukum yang terdapat dalam setiap teks Al Qur’an.
Kemudian kenapa kalam diisyaratkan harus tersusun dan memberikan arti yang mafhum (bisa dimengerti). Karena pengertian seperti itu merupakan pemahaman bahwa berlangsungnya suatu hukum baik Ubudiyah, Amaliyah, dan I’tikodiyah, harus dengan kalimat yang bermakna. Contoh dalam sholat kita harus mengucapkan niat dengan kalimat yang berurutan sehingga memberikan arti sahnya sholat dan sesuai denga apa yang hendak kita ucapkan.
Demikian juga dengan ibadah yang lain seperti Haji, Umrah, Zakat, Puasa, Syahadat, akad nikah, talak , nadzar, dan lainnya semuanya bisa sah jika diucapkan dengan kata-kata yang bermakna. Itulah salah satu kajian makna kalam dalam kontek Al Qur’an.
Contoh lain orang tidak akan menjadi kafir hanya karena kata kafir. Berbeda kalau mengucapkan “: saya kafir atau musyrik. Demikian seterusnya.
( DR. KH. Ahmad Najib Afandi, MA dalam buku Madrasah Nahwu Basrah & Kufah )