Kemanuasiaan
Oleh : Ust. Hanif Hidayatullah, S.Pd.I
Suatu hari seorang ibu yang sedang asik dengan pekerjaan hariaannya di dapur, dikagetkan dengan kedatangan anaknya yang secara tiba-tiba dan sedikit tergesa-gesa mendatangi ibunya, ia memberitahukan kalau mendapat rejeki berupa uang yang banyak yang bisa digunakan untuk membiayai ibunya yang sudah lama ingin melaksanakan umrah ke kota suci pada bulan Ramadhan, namun pada saat yang sama anak dan ibu itu mendengar pembantunya yang terbantuk-batuk dan akhirnya mereka bawa kerumah sakit, sesampainya disana dan setelah diperiksa oleh dokter, ternyata pembantunya itu mengidap penyakit yang cukup berat dan harus segera dioperasi yang tentunya membutuhkan ongkos tidak sedikit. Akhirnya -Subhanallah- ibu tadi, dengan persetujuan anaknya, menyerahkan uang yang sedianya akan digunakan untuk umrah itu kepada pembantunya untuk keperluan operasinya.
Saya jadi teringat jawaban DR. Yusuf Qardhawi ketika ditanya mengenai lebih utama manakah antara melaksanakan haji dan umrah tathawwu’ (sunnah) dengan memberikan dana haji dan umrahnya tersebut untuk membantu fakir dan miskin atau untuk menopang terlaksananya proyek-proyek kebaikan dan organisasi-organisasi yang sebagian besar memerlukan dana ?
Setelah memberikan penjelasan dengan detail, pada bagian akhir jawabannya al-Qardhawi memberikan nasehatnya, sebagai berikut : Inilah nasihat saya kepada saudara-saudara yang berkeinginan untuk beragama secara mukhlis. Apabila mempunyai ketertarikan untuk mengulang-ulan dua syi’ar yaitu haji dan umrah, maka hendaklah mereka mencukupkan dengan haji dan umrah wajib terlebih dahulu. Kalaupun harus mengulanginya, maka hendaklah dilakukan setiap lima tahun sekali, karena dengan demikian mereka akan memperoleh dua faidah besar sekaligus pahalanya :
Pertama, mengarahkan penggunaan harta yang melimpah itu untuk amal kebaikan dan dakwah Islam, dan membantu kaum muslimin di seluruh penjuru dunia Islam atau yang berstatus sebagai kelompok minoritas di negara-negara non-Islam.
Kedua, memberikan keleluasaan kepada kaum muslimin lain yang dating dari pelbagai penjuru dunia -yang belum sempat menunaikan haji wajib-. Karena tidak diragukan lagi bahwa mereka ini lebih layak untuk diberi lapangan dan kemudahan. Oleh sebab itu, meninggalkan haji tathawwu’ dengan niat memberi kelapangan kepada mereka yang hendak menunaikan haji wajib serta mengurangi kepadatan jama’ah haji secara umum merupakan salah satu dari bentuk qurbah (pendekatan diri) kepada Allah Ta’ala, yang dengan demikian ia memperoleh pahala dan ganjarannya. (Secara lengkap, pembahasan ini bisa dibaca di Fatawi Ma’ashirah yang telah diterjemahkan oleh Drs. As’ad Yasin dengan judul Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid 1 Yusuf Qardhawi, pada hal : 441-446). Bagaimana mana menurut Anda, lebih baik yang mana ?