Amanat Berjenjang
Oleh : Ustadz Shofiyullah Mukhlas, MA*
Dalam menjalani kehidupan, manusia memiliki beberapa jenjang kewajiban. Ini tidak lain karena manusia dibekali akal dan aturan (syariat) oleh Tuhan. Ada banyak jenis kewajiban yang manusia miliki yang satu sama lain memiliki jenjang berbeda. Tingkatan kewajiban yang manusia miliki ini bisa diklasifikasi sebagai berikut: kewajiban kepada Tuhan, kepada Nabi Muhammad, kepada orang tua, kepada guru, kepada sesama manusia, dan kepada diri sendiri.
Enam kewajiban ini harus dilaksanakan secara tertib. Manusia harus mendahulukan kewajiban kepada Tuhan di atas kewajiban terhadap lainnya. Manusia juga harus mendahulukan kewajiban kepada Nabi Muhammad dibanding kewajiban-kewajiban lainnya. Sebab apa yang dibawa nabi Muhammad seluruhnya adalah ajaran Tuhan.
Berikutnya adalah kewajiban kepada dua orang tua. Sebagian ulama menempatkan taat kepada guru di atas orang tua, sedangkan ulama yang lain memposisikan keduanya dalam tingkatan yang sama.
Untuk kewajiban kepada sesama manusia, Rasul menempatkan pada posisi yang sama dengan kewajiban terhadap diri sendiri. Rasul bersabda,
لا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسه
“Tidak sempurna iman seseorang jika tidak bisa mencintai sesamanya seperti mencintai dirinya sendiri.”
Semua jenjang kewajiban ini tidak boleh dibalik-balik. Manusia tidak boleh mendahulukan kepentingan dirinya di atas kepentingan Tuhan. Orang yang mendahulukan kepentingan diri sendiri di atas kepentingan Tuhan, hampir dipastikan menjadi kafir. Alquran mencontohkan melalui kisah Iblis atau Fir’aun. Kedua makhluk ini secara jelas digolongkan sebagai kafir karena melawan perintah Tuhan.
Manusia juga tidak dibenarkan mendahulukan kepentingan dirinya di atas kepentingan Rasulullah. Orang yang menempatkan kepentingan dirinya di atas kepentingan Rasulullah, sama dengan merendahkan kerasulan Muhammad. Karena seluruh ajaran yang di bawa Nabi Muhammad adalah wahyu dari Allah. Rasul bersabda,
لايؤمن أحدكم حتى يكون الله ورسوله أحب إليه مما سواهما (رواه أحمد عن أنس رضي الله عنه: 12676
“Tidak (diterima) iman seseorang sampai Allah dan Rasulnya lebih dicintai dibanding selain keduanya.”
Manusia juga tidak dibenarkan mendahulukan kepentingan dirinya di atas kepentingan orang tuanya. Rasul bersabda,
رضا الله في رضا الوالدين وسخط الله في سخط الوالدين
“Ridha Allah terdapat dalam ridha kedua orang tua, dan murka Allah terdapat dalam murka kedua orang tua.”
Tak heran jika aktifitas yang hendak manusia lakukan harus mendapat restu dua orang tuanya. Tanpa ijin keduanya, walaupun secara lahir tampak baik, hal tersebut bisa membawa petaka, terlebih di akhirat nanti. Imam al-Bukhari meriwayatkan, seorang anak yang sengaja menyakiti perasaan orang tuanya adalah dosa besar setelah syirik kepada Allah.
روى البخاري عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْكَبَائِرِ قَالَ اَلإِْشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ
وَقَتْلُ النَّفْسِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ. (البخاري: 2460)
“Al-Bukhari meriwayatkan dari Anas, Anas berkata, Rasulullah ditanya tentang dosa besar dan beliau menjawab, “Adalah menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh orang dan memberi kesaksian palsu.”
Imam Al-Bukhari juga mengisahkan tentang orang saleh (Juraij) dari kalangan Bani Israel yang selalu salat di mushallanya. Suatu hari ibunya memanggil dan kebetulan sang anak sedang shalat sunah. Beberapa kali dipanggil sang anak tak juga menjawab. Tanpa disadari, kejadian ini membuat hati sang ibu tersinggung. Sang ibu pun pergi meninggalkan. Tak disangka, kejadian ini membuat sang anak harus terfitnah atas tuduhan berzina dengan seorang pelacur. Perempuan tersebut melahirkan seorang anak dan mengaku berhubungan dengan orang saleh tadi. Masyarakat pun beramai-ramai merobohkan mushallanya. Atas kuasa Tuhan, bayi yang baru lahir ditakdirkan bisa berbicara dan mengaku bahwa dia bukan anak dari orang saleh yang rajin shalat di mushallanya, tapi dengan seorang penggembala kambing. Al-Bukhari meriwayatkan,
روى البخاري عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ رَجُلٌ فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ يُقَالُ لَهُ
جُرَيْجٌ يُصَلِّي فَجَاءَتْهُ أُمُّهُ فَدَعَتْهُ فَأَبَى أَنْ يُجِيبَهَا فَقَالَ أُجِيبُهَا أَوْ أُصَلِّي ثُمَّ أَتَتْهُ فَقَالَتْ اللَّهُمَّ لَا تُمِتْهُ حَتَّى تُرِيَهُ وُجُوهَ
الْمُومِسَاتِ وَكَانَ جُرَيْجٌ فِي صَوْمَعَتِهِ فَقَالَتْ امْرَأَةٌ لَأَفْتِنَنَّ جُرَيْجًا فَتَعَرَّضَتْ لَهُ فَكَلَّمَتْهُ فَأَبَى فَأَتَتْ رَاعِيًا فَأَمْكَنَتْهُ مِنْ نَفْسِهَا
فَوَلَدَتْ غُلَامًا فَقَالَتْ هُوَ مِنْ جُرَيْجٍ فَأَتَوْهُ وَكَسَرُوا صَوْمَعَتَهُ فَأَنْزَلُوهُ وَسَبُّوهُ فَتَوَضَّأَ وَصَلَّى ثُمَّ أَتَى الْغُلَامَ فَقَالَ مَنْ أَبُوكَ يَا غُلَامُ
قَالَ الرَّاعِي قَالُوا نَبْنِي صَوْمَعَتَكَ مِنْ ذَهَبٍ قَالَ لَا إِلَّا مِنْ طِينٍ.
Kisah ini menunjukkan bahwa menyinggung perasaan orang tua, walaupun dilakukan tanpa sengaja, bisa membawa petaka. Padahal dalam kisah ini disebutkan sang anak sedang shalat sunah. Dosa ini tentu akan lebih besar jika sang anak secara sengaja melawan orang tuanya, tanpa ada alasan apapun. Semua ini terkecuali apabila dimaafkan oleh orang tua.
*******
Terhadap guru manusia mempunyai kewajiban yang tidak kalah penting. Bahkan pepatah arab mengatakan,
كاد المعلم أن يكون رسولا
“Hampir-hampir seorang guru adalah rasul.” Ini tidak berarti manusia harus mengiyakan seluruh apa yang ia perintahkan, tapi manusia harus mencari tahu segala sesuatu yang belum ia ketahui dari sang guru untuk kemudian ia amalkan.
Manusia tidak boleh taat kepada kedua orang tua atau guru apabila mereka menyuruh berbuat maksiat kepada Allah, atau melanggar ajaran Nabi Muhammad Saw. Rasul bersabda,
لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق
“Tidak wajib taat kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Tuhan.” Kisah dalam Alquran tentang kewajiban taat kepada orang tua juga diberi pengecualian. Yaitu, apabila orang tua memaksa anaknya untuk berbuat syirik kepada Allah, maka sang anak tidak wajib taat. Allah berfirman,
وان جاهداك على أن تشرك بالله ماليس لك به علم فلا تطعهما
Jika sang anak taat kepada orang tuanya untuk berbuat maksiat, berarti ia telah mengutamakan kepentingan manusia di atas kepentingan Allah dan Rasul-Nya. Ini tentu tidak benar. Kendati demikian, penolakan terhadap ajakan maksiat orang tua, harus dijawab secara bijak (ma’ruf), agar tidak menyinggung perasaannya.
*******
Mengenai kewajiban terhadap sesama umat manusia, Rasul bersabda,
لا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسه
“Tidak sempurna iman seseorang sampai ia mencintai temannya seperti mencintai dirinya sendiri.” Orang yang hanya bisa mencintai dirinya sendiri, pasti tidak akan bisa mendapatkan kebenaran dari orang lain. Padahal hidup ini adalah mencari kebenaran, tanpa pandang dari mana kebenaran itu berasal. Kebenaran tidak mungkin mutlak datang dari satu orang. Oleh karena itu, orang yang hanya mencintai dirinya, pasti ia akan menafikan banyak kebenaran. Ia akan menganggap bahwa kebenaran hanya datang dari dirinya. Padahal Allah menitipkan ilmu sesuai yang dipelajari masing-masing orang.
*****
Di dalam Islam ada beberapa tingkatan dalam berteman. Setidaknya ada dua hal yang bisa disebutkan, yaitu teman biasa dan teman baik. Yang kedua ini biasa disebut dengan sahabat. Teman biasa adalah teman yang hanya saling mengenal satu sama lain. Adapun teman baik adalah teman yang biasa diajak menyelesaikan masalah. Keduanya harus kita homati, terlebih seorang sahabat. Terhadap sahabat, manusia harus rela berkorban demi kepentingannya. Hal ini seperti yang dicontohkan para sahabat Rasul dulu kepada sesama sahabat yang lain. Allah berfirman,
ولو كان بهم خصاصة
Artinya, “ Manusia juga harus punya komitmen untuk tak sekalipun menganggu hak-hak pribadi sahabatnya.
Di dalam memilih sahabat manusia diwanti-wanti agar lebih hati-hati. Islam menganjurkan agar mencari sahabat yang bisa saling bertegur sapa dalam kebajikan dan bertegur sapa dalam menghindari maksiat kepada Tuhan. Sebab di akhirat kelak orang yang paling kita benci adalah teman yang selalu mengajak kita berbuat maksiat, sementara kita tidak kuasa menolaknya. Karena yang mengajak maupun yang diajak semuanya akan bersama-sama ke tempat yang satu.
Rasulullah pernah berpesan bahwa dalam mencari sahabat hendaknya kita mencari teman yang bisa membuat diri kita lebih baik. Sahabat Ali pernah berkata, dalam bersahabat yang utama adalah bisa berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan, bukan sekedar memperbanyak teman.
Wallahu A’lam bis Shawab
* Dewan Pengajar di Pondok Pesantren Al Hikmah 2 – Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta