Untuk terlaksananya hubungan suami istri yang sah, Islam tidak membuka pintu lain kecuali akad nikah. Semua agama dan semua kelompok manusia beradab mempunyai aturan demikian. Setiap akte (akad =aqad) dalam hukum apapun mesti memerlukan formalistas-formalitas tertentu. Demikian juga Islam mengatur akad nikah ini, yaitu :
- Harus ada pengantin laki-laki ( Calon suami)
- Harus ada pengantin perempuan ( Calon Istri)
- Harus ada saksi (Sedikitnya dua orang laki-laki)
- Harus ada wali bagi pengantin perempuan
- Harus dengan sighat (ijab Kabul =serah terima)
Bahwa pengantin laki-laki harus dengan suka rela adalah jelas, karena dia harus mengucapkan “penerimaan” di dalam akad yaitu ‘Qobul’ . Adapun kesukarelaan pengantin perempuan, Islam mengatur demikian :
— Kalau ia janda, maka tidak boleh dipaksa (si wali tidak boleh memaksa)
—Kalau si gadis belum pernah nikah sah, maka wali mujbirnya ( ayah atau kakek = ayahnya ayah) boleh (ulangi : tidak wajib, tidak dianjurkan) memaksakan akad nikah dengan syarat – syaratnya :
- Kedua pengantin itu kufu (Seimbang)
- Dengan maskawin yang sepadan ( dengan ibu, saudara-saudaranya)
- Tidak ada permusuhan antara pengantin perempuan itu dengan pengantin laki-laki dan / atau dengan wali.
Tentang Wali Mujbir. Meskipun wali mujbir berhak memaksa akad nikah atas pengantin perempuan (memang mujibir artinya : berhak memaksa);dab meskipun tidak disyaratkan umur dewasa bagi pengantin perempuan, namun seyogyanya ditunggu sampai pengantin perempuan dewasa, siap fisik dan mentalnya serta kecakapannya untuk berumah tangga, mendapatkan jodoh yang disetujui / dapat diterimanya. Wali harus bertanggung jawab kepada Allah.
Disadur dari : Fikih Perempuan Praktis, Oleh : KH. Abdul Muchit Muzadi. Penerbit Khalista 2006