Yazidu Bil Infaq
Kurang dari dua bulan lagi, haul allahuyarham KH. Masruri Abdul Mughni akan kembali digelar. Masih lekang dalam ingatan tentunya bagaimana suasana haul Almaghfurlah pada tahun lalu. Ketika itu, ribuan orang melarut dalam tahlil dan doa bersama. Bias-bias kenangan tentang almaghfurlah merona memenuhi pandangan tiap pasang mata muhibbah yang datang. Membetik haru dan rindu pada tiap petuah, nasehat, dan kehangatan pribadi seorang Abah.
Lahir dan tumbuh di desa Benda, Abah mengisahkan hikayatnya saat menuntut ilmu- sebagaimana disampaikan KH. Mukhlas Hasyim pada haul 1434 H-. Ketika usia sekolah dasar, Abah menempuh pendidikan dasarnya di kota Bumiayu. Langkanya kendaraan di masa itu, membuat Abah berangkat dan pulang sekolah dengan berjalan kaki. Walau begitu, semangat belajar Abah tak pernah kendur. Untuk bekal sekolah, Abah seringkali membawa sebutir telur. Nantinya, telur itu akan dijual di tengah jalan, dan uang hasil penjualan itulah yang menjadi uang saku Abah.
Setamat sekolah dasar, Abah muda meneruskan pendidikannya di beberapa Pesantren tanah air. Tercatat, beliau pernah belajar di Rembang (1959-1961). Di Rembang, beliau belajar pada beberapa Kiai seperti Syaikhuna Bisri Musthofa dan Syekh Masduki Lasem. Dari Rembang, Abah kemudian nyantri di Tambak Beras hingga tahun 1966. Di Tambak Besar inilah, beliau antara lain belajar pada Syekh Fatah Hasyim.
Dari Tambak Beras, keinginan Abah untuk belajar sebenarnya masih amat menggebu. Tapi apa daya, kondisi saat itu tak mengijinkan, selepas wafatnya KH. Kholil bin Mahalli, desa Benda kala itu membutuhkan kader penerus perjuangan. Akhirnya, di usia yang masih terbilang belia yakni dua puluh dua tahun, Abah muda pulang dari Pesantren.
Tiba di Benda, hati Abah langsung ditambatkan pada perjuangan. Abah langsung aktif di berbagai majelis ilmu. Hampir seharian penuh Abah mengabdikan waktunya untuk mengajar para santri dan masyarakat. Tak jarang Abah baru kembali ke rumah ketika sore menjelang, padahal shubuh-shubuh benar beliau sudah berangkat ke Pesantren yang lokasinya berada di sekitar masjid Jami’ Benda. Ketika itu Abah memang belum menyelenggarakan majelis pengajian di rumahnya sendiri.
Ada satu kebiasaan yang dilakukan Abah tiap paginya, yakni membangunkan para santri. Sebelum sampai di tempat ngaji, Abah menyempatkan diri untuk mampir di PTQ untuk membangunkan santri. Pun ketika sampai di asrama santri di Masjid Jami’, Abah pun lagi-lagi memerika kamar santri. Kebiasaan itu rutin dilakukan Abah tiap hari.
Ketika itu, ada satu maqalah terkenal Abah- sebagaimana pernah diceritakan Almaghruflah KH. Abdul Qadir Alhafidz- yakni Al ‘ilmu yazidu bil infaq wayanqusu bil imsak, bahwa ilmu itu akan bertambah manakala di infaq (diajarkan), tapi justru akan berkurang manakala hanya diimsak (dikekang). Berpijak pada prinsip ini, Abah tak ragu untuk berdakwah, berjuang, dan mendidik para santrinya.
Seiring berjalannya waktu, jumlah santri di Pesantren Al Hikmah pun terus bertambah. Yang datang pun tak melulu santri putra, tak sedikit santri putri yang berniat mondok di Al Hikmah. Padahal, Al Hikmah saat itu baru memiliki asrama untuk santri putra.
Melihat kondisi ini, Abah pun bertekad untuk membangun asrama guna menampung santri putri. Mulanya Abah berniat mendirikan asrama putri di sekitar komplek masjid Jami’, berdampingan dengan asrama santri yang telah ada. Tapi atas saran dari para guru, beliau akhirnya mendirikan bangunan asrama putri itu di tanah milik orang tuanya sendiri. Dikemudian hari, jumlah santri putri yang datang terus bertambah-tambah. Kelak, asrama putri inilah yang menjadi cikal bakal Pesantren yang dikenal dengan nama Al Hikmah 2.