Apakah Menyentuh Lawan Jenis Dapat Membatalkan Wudhu
Masalah ini adalah masalah fikih yang masyhur diperbincangkan oleh masyarakat kita. Inti dari masalah ini adalah sudut pandang dalam memahami firman Allah Ta’ala,
أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
“… atau jika kalian menyentuh wanita, dan kalian tidak mendapati air, maka bertayammumlah dengan debu yang suci.” (QS. An Nisa: 43)
Ayat ini juga terdapat dalam surah Al-Maidah ayat ke-6.
Zahir ayat menyatakan bahwa menyentuh wanita dapat membatalkan wudu karena tayammum adalah pengganti dari wudu jika tidak ada air. Namun, para ulama berbeda pendapat menjadi tiga pendapat dalam memahami ayat ini:
Pendapat pertama
Ulama Syafi’iyyah menyimpulkan sesuai zahir ayat bahwa menyentuh wanita dapat membatalkan wudu secara mutlak. Karena makna al-lamsu artinya menyentuh kulit. Sebagaimana perkataan Nabi kepada Ma’iz,
لَعَلَّكَ قَبَّلْتَ أَوْ لَمَسْتَ
“Mungkin Engkau menciumnya atau menyentuhnya.” (HR. Ahmad no. 2130)
Juga dalam hadits,
وَالْيَدُ زِنَاهَا اللَّمْسُ
“Dan zina tangan adalah menyentuh.” (HR. Ahmad no. 8392, disahihkan Al-Albani dalam Ash-Shahihah no.8204)
Dan juga penafsiran sebagian salaf bahwa makna al-lamsu adalah menyentuh dengan tangan. Tafsiran ini diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Sa’id bin Jubair, ‘Ubaidah As Salmani, ‘Atha, serta ‘Amir bin Sa’ad.
Pendapat kedua
Ulama Hanafiyah dan salah satu pendapat dalam mazhab Hambali juga pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, mengatakan bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudu sama sekali, baik dengan syahwat atau tanpa syahwat.
Adapun “menyentuh wanita” dalam ayat di atas, maknanya adalah jima’. Sebagaimana ditafsirkan oleh sebagian salaf. Tafsiran ini diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Ubaid bin Umair, Al Hasan Al Bashri, serta Mujahid.
Dikuatkan dengan beberapa hadis sahih yang memuat praktik Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak membatalkan wudu ketika menyentuh wanita.
Pendapat ketiga
Pendapat mu’tamad dalam mazhab Hambali dan juga Maliki bahwa menyentuh wanita membatalkan wudu jika dengan syahwat. Dalam rangka menggabungkan dan mencari jalan tengah antara dalil yang menyatakan batal dan dalil yang menyatakan tidak batal.
Tarjih pendapat
Pendapat yang dikuatkan oleh tiga ulama besar abad ini, yaitu Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syekh Abdul Aziz bin Baz dan Syekh Al-Albani rahimahumullah adalah pendapat kedua. Bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudu sama sekali, baik dengan syahwat atau tanpa syahwat.
Karena dalil-dalil tentang praktik Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak membatalkan wudu ketika menyentuh wanita. Dan sebaik-baik petunjuk dalam memahami ayat adalah petunjuk dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Di antaranya hadis dari Aisyah radhiallahu ‘anha,
أنَّ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم قَبَّل امرأةً من نسائِه، ثمَّ خرج إلى الصَّلاةِ ولم يتوضَّأ
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mencium salah seorang istrinya (yaitu Aisyah sendiri), kemudian beliau keluar untuk salat dan tidak berwudu lagi.” (HR. Abu Daud no. 179, At-Tirmidzi no. 86, Ibnu Majah no. 502, Ahmad [6: 210], disahihkan oleh Ahmad Syakir dalam Takhrij Al-Musnad [1: 515] dan disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Abu Daud)
Hadis ini adalah dalil kuat bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudu. Sekaligus juga dalil kuat bahwa menyentuh dengan syahwat pun tidak membatalkan wudu karena umumnya ciuman itu disertai syahwat.
Dalil yang lain, dari Aisyah radhiallahu ‘anha,
كنتُ أنام بين يَدَي رسولِ الله صلَّى اللهُ عليه وسلَّم ورِجلاي في قِبلَتِه، فإذا سجَد غمَزَني، فقبضتُ رِجلي، فإذا قام بسطتُهما، قالت: والبيوتُ يومئذٍ ليس فيها مصابيحُ
“Aku pernah tidur di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kedua kakiku berada di arah kiblat beliau. Ketika Rasulullah sujud, beliau memijat kakiku (untuk memberi isyarat). Maka, aku pun menekuk kakiku. Ketika Rasulullah berdiri, aku luruskan kembali. Dan rumah kami ketika itu tidak ada lampu.” (HR. Bukhari no. 382, Muslim no. 512)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyentuh kaki Aisyah ketika sedang salat dan Rasulullah tidak membatalkan salatnya.
Kata ghamaza (غمز) dalam hadis ini memang bisa bermakna “isyarat dengan tangan”. Sehingga tidak tegas menjelaskan adanya sentuhan kulit atau sentuhan tersebut terhalangi penghalang. Ibnu Atsir rahimahullah dalam An-Nihayah menjelaskan,
وبعضهم فسر ” الغمز ” في بعض الأحاديث بالإشارة ، كالرمز بالعين أو الحاجب أو اليد
“Sebagian ulama menafsirkan al-ghamz di sebagian hadis dengan makna isyarat atau kode menggunakan mata, gerakan kening atau tangan.” (An-Nihayah, 3: 386)
Namun, kata ghamaza pada asalnya bermakna “memijat dengan tangan”. Di antaranya dalam hadis tentang mandi junub,
قال لها : اغمزي قرونك
“Nabi bersabda, ‘Ighmazi (peraslah) jalinan rambutmu.’”
Ibnu Atsir rahimahullah menjelaskan,
أي اكبسي ضفائر شعرك عند الغسل : والغمز : العصر والكبس باليد
“Maksudnya adalah tekanlah jalinan rambutmu ketika mandi. Al-ghamz artinya ‘memeras dan menekan (baca: memijat) menggunakan tangan’” (An-Nihayah, 3: 386)
Juga dalam hadis Ibnu Umar radhiallahu’anhu, ia berkata,
أنه دخل عليه وعنده غليم أسود يغمز ظهره
“Bahwa Ibnu Umar masuk ke rumah Nabi ketika itu ada budak berkulit hitam yang sedang yughmizu (memijat) punggung Nabi.”
Maka, ini menguatkan bahwa makna “ghamazani” dalam hadis Aisyah di atas adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyentuh kaki Aisyah dengan cara memijatnya.
Demikian juga, andaikan menyentuh wanita itu membatalkan salat, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyentuh ‘Aisyah walaupun terhalang kain karena ini akan berisiko terjadi sentuhan kulit, terlebih di rumah beliau yang dalam keadaan gelap. Ini menunjukkan bahwa menyentuh wanita tidaklah membatalkan wudu.
Makna ini juga diperkuat oleh hadis lainnya, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha,
فقدتُ رسولَ الله صلَّى اللهُ عليه وسلَّم ليلةً مِن الفِراشِ، فالتمستُه فوقَعَتْ يدي على بَطنِ قَدَمَيه وهو في المسجدِ، وهما منصوبتانِ وهو يقول: اللَّهمَّ أعوذُ برِضاك مِن سَخطِك، وبمعافاتِك من عُقوبَتِك، وأعوذُ بك منك؛ لا أُحصي ثناءً عليك، أنت كما أثنيتَ على نفسِك
“Di suatu malam, aku tidak mendapati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di tempat tidur. Aku pun mencari-carinya (di kegelapan) dan kedua tanganku mendarat di punggung kaki beliau. Ternyata beliau sedang sujud di tempat sujud. Kedua kaki beliau dalam keadaan ditegakkan. Beliau membaca doa, ‘Allahumma a’udzu biridhaka min sakhatik, wa bimu’afatika min uqubatik, wa a’udzu bika minka, laa uh-shi tsana-an ‘alaika, anta kamaa atsnaita ‘ala nafsik.’ ” (HR. Muslim no. 486)
Dalam hadis ini, Aisyah menyentuh kaki Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak disebutkan bahwa beliau membatalkan salatnya. Sebagaimana kasus yang ada pada hadis sebelumnya.
Kesimpulannya, menyentuh wanita tidaklah membatalkan wudu sama sekali, baik dengan syahwat atau tanpa syahwat. Namun, masalah ini adalah masalah yang longgar, kita menghormati pendapat lain yang berbeda. Karena perbedaan ini juga terjadi di tengah para salaf sebagaimana telah disebutkan di atas.
Adapun perkataan yang mengatakan bahwa wudu batal jika menyentuh wanita non-mahram dan tidak batal jika menyentuh istri atau wanita mahram, ini belum kami ketahui landasan dalilnya serta siapa ulama yang mengatakannya. Wallahu a’lam