Abah Kyai : Kiblat tak Bergeser Karena Gempa
Menyikapi santernya isu perubahan arah kiblat akibat gempa besar di Haiti beberapa waktu silam, Majelis Syuriah NU kecamatan Sirampog menggelar pelatihan ilmu Falak, Selasa (05/07). Bertampat di wisma di lantai 3 Pondok Pesantren Al Hikmah 2, Acara yang diikuti oleh perwakilan MWC dan PAC sekecamatan Sirampog itu direncanakan berlangsung dua hari, 5 dan 6 Juli 2011.
Selama dua hari, para peserta pelatihan akan digodok untuk mempelajari tata cara penentuan waktu shalat, penentuan arah kiblat hingga tata cara pembuatan kalender Islam (Kalender qamariyah). Bertindak sebagai narasumber pada pelatihan ini adalah Ust. Nasyar Alamuddin Masruri salah seorang putra dari Pengasuh Pondok Pesantren Al Hikmah 2 Romo KH. Moch. Masruri Abdul Mughni.
Dalam sambutannya, atas nama shohibul bait, Romo Kyai Masruri yang juga merupakan Syuriah PWNU Jawa Tengah banyak mengurai tentang signifikasi ilmu falak dalam kehidupan umat Islam. Menurut Abah sapaan akrab Romo Kyai Masruri, meski dikalangan ulama terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum mempelajari ilmu ini, namun jelas keberadaan ilmu tak dapat dipisahkan dari kegiatan ibadah umat Islam, misalnya saja ibadah sholat.
Sebagaimana maklum dalam syarat sah sholat terdapat syarat masuknya waktu shalat dan menghadap kiblat. Lalu bagaimana seseorang dapat mengetahui batas waktu shalat jika kemudian indikasi pertama masuknya waktu yakni matahari tidak dapat terlihat karena mendungnya cuaca. Abah pun kemudian menyebutkan disinilah peran ilmu falak itu jelas terlihat. Jam sebagai penanda waktu itu adalah satu diantara produk ilmu falak.
Satu lagi peran besar ilmu Falak, sebagaimana keterangan Abah Kyai adalah peran dalam penentuan arah kibat. Melalui berbagai metodenya seperti Rashdul qiblat, atau menggunakan alat modern theodholite, seorang muslim dapat mengetahui arah kiblat di masjidil haram secara tepat.
Dalam kesempatan itu pula, Abah sekaligus menepis isu santer terjadinya pergeseran arah kiblat akibat gempa Haiti. Kalaupun kemudian ditemukan beberapa masjid zaman dulu yang setelah dilakukan pengukuran seksama dengan ilmu falak ternyata tidak menghadap ke arah kiblat secara tepat, faktor tidak tepatnya lebih dikarenakan penggunaan madzhab Hanafi sebagai patokan penentuan arah kiblat, yakni cukup “jihadul ka’bah” bukan ‘ainun kiblat sebagaimana pendapat Imam Syafi’i. Seperti halnya Sunan Ampel, pemimpin para wali yang diterangkan Abah sebagai mengikuti madzhab Hanafi dalam fiqhnya. (JA)