Sepintas tentang Tasawuf
Oleh : Ishak Suryo Nugroho
Kajian tasawuf tidak dapat dipisahkan dengan kajian terhadap pelaksanaannya di lapangan, dalam hal ini praktik ‘ubudiyah dan muammalah dalam tarekat. Walaupun sebuah tarekat sebagai sebuah institusi lahir belasan abad setelah contoh konkret pendekatan terhadap Allah SWT yang telah dipraktikkan oleh rasul-Nya yaitu nabi Muhammad SAW (antara lain dengan bertahannuts di gua Hira, shalat lail, dsb) dan kemudian diteruskan oleh sebagian sahabat beliau, tabi’in, tabi’in al-tabi’in, kemudian lahir para auliya’ Allah abad demi abad hingga masa sekarang. Garis yang menyambung sejak masa nabi hingga syekh tarekat yang hidup saat ini disebut silsilah sebagai ciri khas yang terdapat dalam kajian disiplin ilmu tasawuf atau dalam istilah hadis disebut isnad, menjadikan ajaran dan praktik keagamaan ini hidup dan tetap bertahan hingga saat ini.
Sayyid Hussen Nashr di dalam suatu survey menyimpulkan, dalam beberapa decade terakhir, sufisme mengalami kebangkitan di dunia muslim di Syiria, Iran, Turki, sampai Asia Tenggara. Terdapat peningkatan signifikan dalam minat terhadap sufisme, terutama dikalangan pendidik. Menurutnya, sebagian kebangkitan itu berkaitan dengan meningkatnya kegiatan-kegiatan tarekat-tarekat sufi.
Kebangkitan tasawuf umumnya dan tarekat khususnya dimasa belakangan ini telah menimbulkan banyak pertanyaan khususnya dikalangan para sosiologi agama dan modernisasi. Mengapa dalam situasi dimana kemajuan ilmu dan teknologi yang kian marak, justru semakin banyak orang yang tertarik pada tasawuf ? apakah itu hanya sekedar gejala ekapisme dalam dunia modern ? Kesimpulan singkat yang diberikan oleh Naisbitt dan Aburdene dalam Megatrends 2000 agaknya menarik untuk dicatat. Menurut mereka, ilmu pengetahuan dan teknologi yang melaju cepat di era modern tidak memberikan makna tentang kehidupan. (Tasawuf dan Krisis, 2001 : vi).
Pasang surut gerakan tarekat disuatu negara tidak selalu seragam dengan negara lainnya, apalagi tidak seluruh negara yang berpenduduk muslim menjadikan Islam sebagai landasan dan asas negara, dan masing-masing negara terdapat tarekat yang bervariasi. Di Indonesia sendiri tarekat yang berkembang cukup memberi warna kehidupan keagamaan yang penuh dengan semangat batiniyah seperti tarekat Qadiriyah.
Di dunia Islam, demikian juga di Indonesia, penyebaran tarekat tampak bukan hanya di kota-kota besar tapi juga sampai ke pedesaan, bukan hanya rakyat biasa tetapi juga masuk kepada kalangan cendekia dan politisi serta petinggi negara, laki-laki dan perempuan, tua dan muda, meliputi banyak profesi dan keahlian serta menjadi idola suatu pencapai ketenangan batin dan ketinggian pencapaian spiritual dalam melawan hedonism dan keterpurukan moral dan dimensi lain kehidupan manusia saat ini.
Imam Al-Ghazali yang kita kenal sebagai Hujjat Al-Islam, menurut Prof. Aboe Bakar Atceh sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad Najib Burhani dalam “Tarekat tanpa Tarekat, Jalan Baru Menjadi Sufi” , Al-Ghazali mewanti-wanti para penganut tarekat agar berhati-hati dalam memilih guru atau pemimpin spiritual. Sikap Syekh Yusuf Al-Makassari, seorang ulama dari Indonesia, untuk menghindari kesalahan dalam memilih tarekat atau guru adalah dengan mencoba untuk mempelajari dan berbaiat dalam tarekat yang beragam. Dalam perjalanannya melaksanakan ibadah haji, Syekh Yusuf masuk dalam tarekat Qadiriyah, kemudian ia belajar tarekat Naqsabandiyah kepada Muh. Abd. Al-Baqi di Yaman. Di Madinah ia belajar kepada seorang Syekh tarekat Syattariyah, Ibrahim Al-Kurani. Syekh Yusuf menghabiskan waktu seperempat abad untuk mempelajari berbagai macam tarekat. (Burhani, 2002 : 40). Jika Al-Ghazali berabad-abad lalu telah memperingati umat Islam agar berhati-hati dalam memilih guru, lalu bagaimana halnya pada masa sekarang ?