Jangan Percaya Muhammad!
Siapa yang tidak mengenal Abu Bakar Ash-Shiddiq?
Beliaulah sosok pertama yang dipercaya untuk mengambil alih kursi kepemerintahan umat muslim setelah wafatnya Baginda Nabi. Sahabat yang bernama Abdulllah bin Utsman atau Abu Quhafah ini menjadi khalifah pada periode 632-634 Masehi atau 11-13 Hijriah di Madinah.
Namun kisah ini dimulai jauh sebelum era kepemimpinanya berdiri.
Pada masa di mana Rasullulah SAW masih menjadi sandaran bagi umat muslim, hiduplah seorang pengemis buta di sudut pasar madinah. Ia adalah seorang Yahudi tua yang tidak memiliki apapun selain apa yang ia kenakan.
Begitu nelangsa hidup pengemis buta itu karena tidak ada orang yang peduli kepadanya. Orang-orang tidak mengasihinya bahkan untuk sekedar sudi berdekatan dengannya.
Akan tetapi hal tersebut terjadi bukan tanpa alasan. Pengemis buta itu terkucilkan karena tidak ada satupun kata yang keluar dari mulutnya selain cacian dan hinaan.
“Jangan percaya Muhammad! Jauhi dia! Sesungguhnya dia adalah pembohong besar!”
Demikianlah perkataanya yang membuat orang-orang menjadi muak. Mereka pun menjauhinya dan menganggap keberadaan pengemis tersebut adalah sebuah ketiadaan yang pasti.
Namun ternyata masih tersisa seorang pria berhati mulia yang sudi untuk berbagi kasih dengan si pengemis. Setiap hari pria tersebut mendatanginya dengan berbgai makanan. Tidak hanya itu, ia bahkan rela menyuapi si pengemis buta dengan penuh kesabaran. Tidak peduli telinganya harus mendengar perkataan kotor dari mulut si pengemis.
“Sungguh mulia dirimu, Wahai Sahabatku, hingga peduli dengan pengemis tua sepertiku. Kau benar-benar beda dengan Muhammad Sang Penyihir. Sesungguhnya dia adalah pembohong besar, jangan pecaya Muhammad!”
Hari silih berganti, tetapi pria tersebut tetap hadir sebagai ‘sang penyelamat’ bagi perut pengemis buta. Hingga datang masa dimana seluruh alam berduka cita. Waktu dimana langit menangis dan bumi bergoncang. Sedang manusia seakan kehilangan seluruh hidup mereka. Itulah hari kesedihan. Hari dipanggilnya Sang Kekasih untuk menghadap Sang Pencipta seluruh alam semesta.
Di tengah kabut kesedihan itu, para sahabat tidak melulu larut pada rasa duka. Mereka berpikir rasional. Siapakah yang pantas menggantikan Sang Nabi? Maka diangkatlah Abu Bakar untuk memulai masa khalifah.
Suatu hari setelah ia menjabat sebagai khalifah pertama, didatanginya putri tercinta, Aisyah r.a. dan bertanya, “Wahai Putriku, adakah amalan nabi yang belum aku kerjakaan?
Aisyah pun menjawab, “Ayah, kaulah sebaik-baiknya orang yang pernah membersamai nabi. Semua amalannya telah kau kerjakan kecuali satu. Apakah kau tahu bahwa nabi pergi ke pasar setiap pagi untuk menyuapi seorang pengemis buta?”
Demi mendengar hal itu, Abu Bakar pun segera pergi ke pasar Kota Madinah. Di dudut pasar sudut matanya menangkap seorang lelaki tua yang tengah meracau seorang diri.
“Wahai Sahabatku! Dimana kau? Kenapa kau tak lagi datang dan memberiku makan? Aku lapar!”
Abu Bakar pun mendekati pengemis itu lantas memberinya makan. Betapa senang hati si pengemis. Ia mengira bahwa Abu Bakar adalah sosok yang biasa memberinya makan.
“Akhirnya kau datang! Ke mana saja kau pergi?” ia bertanya di sela-sela kunyahan, “ Apa kau tahu berita tentang Muhammad? ku dengar ajaranya menyebar semakin luas. Dasar penyihir gila!”
Mendengar perkataan tersebut Abu Bakar dibakar api amarah. Hampir saja ia kehilangan kesabaran. Maka ia pun tetap menyuapi pengemis buta, tapi dengan suapan yang kasar.
“Berhenti! Mengapa kau begitu kasar? Siapa kau sebenarnya?” hardik pengemis itu.
“Siapa aku? Akulah sahabatmu. Apa kau lupa siapa yang menyuapimu setiap hari?”
“Tidak! Kau bukan sahabatku! Sahabatku tak pernah bersikap kasar. Ialah orang yang pantas untuk menjadi nabi. Bukan kau apalagi Muhammad!”
Mendengar hal itu Abu Bakar pun tersenyum, “Hei, Pengemis buta. Aku memang bukan orang yang kau maksud. Tapi apakah kau tahu, bahwa orang itu telah meninggal beberapa hari yang lalu?”
“Apa?! Tidak mungkin. Aku bahkan tidak tahu siapa namanya.”
Bergetar hati Abu Bakar mendengar kepolosan si pengemis. Ia pun lantas memberi tahu siapa lelaki itu sebenarnya, “Hei, Pengemis! Demi Allah! Orang yang kau maksud adalah Muhammad, dialah Rasulullah yang tak henti-hentinya kau caci maki.”
Pengemis itu terkejut bukan main. Hatinya seketika terenyuh hingga ia hampir limbung kehilangan keseimbangan. Ia benar-benar tidak menyangka. Rasa malu seakan mengutuk dirinya seiring dengan air mata yang mengucur deras.
“Di-dia adalah Mu-muhammad? Benarkah itu? Aku bodoh sekali. Aku hina sekali!”
Pengemis itu menyesali perbuatannya. Ia pun tersedu sedan. Abu Bakar memeluknya berlanjut dengan bacaan syahadat yang mengalir dari mulut pengemis itu.
Itulah salah satu kisah tentang keutamaan nabi. Kesabarannya begitu besar dalam menghadapi berbagi hinaan dan caci maki. Sebagaimana yang terkutip di salah satu ayat Al Qur’an:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اصْبِرُوْا وَصَابِرُوْا وَرَابِطُوْاۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ࣖ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap-siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.”