Yakin dan Benar
Untuk bisa sampai pada kebenaran, seseorang harus punya keyakinan. Rasa yakin adalah intuisi tertinggi yang bisa dicapai manusia. Karena di atas yakin tinggal tersisa kata takdir, dan itu hanya otoritas Tuhan. Oleh karena itu, di dalam beragama, umat Islam harus yakin dengan ajaran yang ia peluk. Tanpa yakin, Tuhan tak akan menerima amal kebaikan orang yang bersangkutan. Apa yang akan Tuhan terima jika yang melakukan saja tidak yakin dengan apa yang ia kerjakan. Tuhan senantiasa menyesuaikan niat hamba-Nya.
Untuk menumbuhkan rasa yakin, orang harus mampu menemukan jawaban dari setiap pertanyaan yang ia miliki. Salah atau benar bukan target yang mutlak harus digapai, tapi perjuangan mencari kebenaran itulah nilai yang lebih mahal dibanding jawaban itu sendiri. Oleh karena itu, ketika apa yang ia temukan nantinya bukan kebenaran, ia akan menuju ke arah kebenaran yang lebih sejati. Ini tak lain karena naluri manusia tidak betah berdiam diri bersama hal yang tidak ia yakini. Sehingga, jika ia merasa harus berubah pasti akan menuju ke arah kebenaran yang ia cari. Dalam hal ini Imam Al-Ghazali berkata, barangsiapa tidak pernah ragu, maka ia tidak pernah yakin.
*****
Menemukan keyakinan sama sulitnya dengan menemukan kebenaran. Secara umum, orang lebih cenderung ingin menemukan keyakinannya, walaupun keyakinan tersebut belum tentu benar. Padahal, di dalam beragama orang tidak cukup hanya bermodal yakin, tapi apa yang ia yakini juga harus benar. Karena, jika keyakinan yang ia miliki bukan hal yang benar, keyakinan tersebut tidak ada artinya di hadapan Tuhan. Karena orang tersebut hanya dianggap menghamba kepada dirinya, bukan kepada Tuhannya.
Secara umum para pemeluk agama yang fanatik adalah orang-orang yang memiliki keyakinan kuat. Akan tetapi keyakinan tersebut tidak semua memberi arti di hadapan Tuhan, karena keyakinan tersebut bukan hal yang benar. Oleh karena itu Tuhan menegaskan bahwa keyakinan yang di terima adalah keyakinan yang benar, yaitu Islam. Allah berfirman,
ومن يبتغ غير الإسلام دينا فلن يقبل منه وهو في الأخرة من الخاسرين
Bagi umat Islam, hidup bukan semata-mata mencari keyakinan, walaupun umat Islam juga harus hidup dengan keyakinan. Karena keyakinan bukan hal yang paralel dengan kebenaran. Orang bisa yakin dengan apa yang paling dekat dengan dirinya. Sehingga ketika orang tersebut selalu hidup bersama dengan kesalahan, kesalahan tersebut akan bisa menjadi bagian dari keyakinannya.
Oleh karena itu, disamping kita harus yakin, keyakinan tersebut juga harus benar. Begitu juga, kebenaran yang kita lakukan juga harus didasari dengan keyakinan. Karena benar tanpa yakin tidak diterima, dan keyakinan yang tidak benar juga tidak diterima.
Dua hal ini dalam beragama harus didapatkan, walaupun pada tahap awalnya terkadang tidak bisa didapatkan secara bersamaan. Masing-masing orang memiliki cara yang berbeda-beda dalam mendapatkannya. Ada yang berawal dari hal-hal yang benar baru kemudian mendapatkan keyakinan, tetapi juga ada yang bermula dari keyakinan baru kemudian mendapatkan kebenaran.
******
Dua hal ini pada tahap awalnya tidak bisa didikotomikan mana yang lebih penting. Sebab pada tahap ini masing-masing berstatus sarana, sedangkan tujuannya adalah menyatunya kedua hal tersebut. Jika pada tahap awalnya orang bermodalkan kebenaran, maka pada tahap akhirnya ia harus menemukan keyakinan. Begitu juga orang yang pada awalnya bermodal keyakinan, maka pada tahap akhirnya harus menemukan kebenaran. Jika masing-masing hanya menemukan salah satunya, maka modal awal tersebut sama-sama tidak ada artinya.
Dalam Alqur’an dikisahkan tentang orang badui yang memeluk ajaran Islam dan mereka mengatakan sebagai orang-orang yang beriman (yakin). Atas kesakisan tersebut Allah menegaskan bahwa mereka adalah orang-orang Islam (sudah melakukan kebenaran), akan tetapi belum memiliki keyakinan. Allah berfirman,
قالت الأعراب أمنا قل لن تؤمنوا ولكن قولوا أسلمنا ولما يدخل الإيمان في قلوبكم …
Ayat ini menunjukkan bahwa apa yang sudah mereka alami adalah hal-hal yang sudah benar, akan tetapi mereka belum memiliki keyakinan. Dengan kebenaran-kebenaran yang terus mereka lakukan, mereka dimaksudkan agar bisa sampai pada keyakinan bahwa apa yang mereka lakukan tersebut benar-benar hal yang benar.
Jika orang-orang yang dikisahkan dalam Alqur’an tersebut tidak meyakini bahwa apa yang mereka lakukan adalah benar, maka apa yang mereka lakukan tidak ada artinya bagi kehidupan agamanya. Terlebih apabila mereka meyakini bahwa apa yang mereka lakukan adalah hal yang salah. Tentu hal ini sangat jauh dari harapan dalam beragama.
Adanya keyakinan bahwa kebenaran yang mereka lakukan adalah hal yang salah, dalam wacana kehidupan bergama biasa melahirkan sikap munafik. Dalam kisah klasik tentang komunitas munfik di Madinah, semua adalah orang-orang yang selalu bersama kebenara, bahkan selalu melakukan kebenaran. Akan tetapi karena kebenaran yang mereka lakukan mereka yakini sebagai hal yang salah, kebenaran tersebut tidak memiliki arti apa-apa bagi dirinya.
Mereka hidup di Madinah bersama Rasulullah, selalu shalat, puasa, jihad, dan ketentuan-ketentuan lain. Namun karena kebenaran-kebenaran tersebut mereka lakukan tidak disertai dengan keyakinan, bahkan disertai dengan pengingkaran, maka kebenaran tersebut kelak akan menjadikan mereka sebagai kerak neraka.
Oleh karena itu, kebenaran pada tahap awal adalah sebagai bekal agar manusia semakin hari semakin dekat dengan keyakinan. Tanpa berlatih keras dengan kebenaran-kebenaran, keyakinan hampir dipastikan sulit didapat. Begitu juga apabila bekal yang dipakai adalah hal-hal yang salah. Kendati nanti mereka akan menemukan keyakinan pasti keyakinan tersebut adalah keyakinan yang salah.
Pada sisi lain banyak kisah klasik yang menyebutkan beberapa orang yang berbekal keyakinan, tapi mereka belum tahu seperti apa yang nanamanya kebenaran. Mereka yakin bahwa apa yang dibawa Nabi Muhammad adalah sesuatu yang benar, namun mereka belum bisa melakukan kebenaran tersebut. Maka orang-orang tersebut apabila hanya berbekal keyakinan, tanpa melakukan kebenaran yang dibawa Nabi Muhammad, keyakinan tersebut juga tidak memiliki arti bagi dirinya.
Jika pada contoh di atas orang-orang badui pada awalnya bermodal kebenaran kemudian sampai pada keyakinan, pada contoh lain terdapat orang-orang yang bermodal keyakinan baru kemudian menemukan kebenaran. Di antara orang yang bermodal keyakinan ini adalah Amr bin al-‘Ash dan Khalid bin al-Walid. Ini bisa dipahami dari kisah keislaman mereka. Mereka berdua menyatakan keislamannya setelah melewati perenungan yang sangat panjang. Dalam salah satu renungannya mereka yakin bahwa setiap kebaikan yang dilakukan manusia di dunia, kelak pasti akan mendapat imbalan kebikan, begitu juga sebaliknya. Jika tidak demikian, setiap orang pasti akan memilih hidup merampas dan berfoya-foya, dan kelak juga ingin mendapat pahala. Oleh karena itu, para raja Romawi yang hidupnya selalu menindas dan serba mewah, besok pasti akan mendapat pembalasan yang berbeda dengan Muhammad yang dalam hidupnya tidak pernah menganggu kehidupan orang lain dan memilih hidup serba pas-pasan. Oleh karena itu, ketika mereka menyatakan keislamannya, Rasulullah mengatakan bahwa kalian berdua adalah orang yang beriman, bukan orang yang Islam.
Keyakinan ini memberi arti bagi mereka, karena keyakinan tersebut mereka sertai dengan kebenaran-kebenaran yang mereka lakukan. Jika tidak, keyakinan tersebut tidak akan memberi arti bagi drinya. Orang semisal Abu Thalib adalah orang yang hatinya penuh keyakinan bahwa seluruh ajaran yang dibawa Muhammad adalah kebenaran. Akan tetapi karena ia tidak menyentuh sedikit pun kebenaran yang Muhammad ajarkan, keyakinan tersebut tidak memberi arti apapun bagi dirinya. Untuk sekedar melafalkan keyakinan yang ia miliki ia tidak mau. Tak heran jika keyakinan tersebut tinggal keyakinan, dan kebenaran berada pada letak yang berbeda.
******
Setelah keyakinan dan kebenaran berhasil disatukan, orang Islam baru berhak berharap kebaikan yang kekal dari Tuhan. Sayangnya, umat Islam kini lebih banyak berharap sebelum keyakinan dan kebenaran tersebut menyatu pada dirinya. Padahal menyatunya kedua hal tersebut adalah jalan untuk mencapai harapan yang sejati.
Dalam kehidupan sehari-hari, falsafah ini juga menjadi kunci. Orang yang ingin mendapatkan apa yang ia harapkan tanpa keyakinan yang benar, harapan tersebut pasti tinggallah harapan. Bahkan harapan tersebut tak jarang akan menjadi beban bagi hidupnya.
Wallahu A’lam bis Shawab
* Dewan Pengajar di Pondok Pesantren Al Hikmah 2 – Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh : Ustadz Shofiyullah Mukhlas, MA*