Alhikmahdua.net-‘ Brebes, Oktober 2021.
“hitungan selanjutnya 7, tiga hitungan lagi bagi santri yang–“ suasana pagi ini masih menjadi hal yang belum terbiasa bagi Halimah, santri baru. Kantuk, Malas, Dingin, Mengantre membuatnya enggan untuk membuka mata dan bangun, namun, dengan berat hari ia bangun menuju kolam dan sholat serta mengikuti kegiatan pondok.
Santri, status baru yang ia dapat. status itu masih samar dalam benaknya. apakah ini status yang penting? berpengaruh? bermanfaat? kenapa orang-orang bangga dengan status ini?
Tinggal di suatu lingkungan baru dengan penuh aturan dan keluar dari zona nyaman, itu ‘santri’ yang Halimah tahu. Orang tuanya bilang nyantri itu akan mendapat banyak barokah dari manut ke kyai, asatidz dan juga pengurus, hal itu bertolak belakang dengan yang halimah ingin kan, yang ia tahu ia hanya patut manut kepada orangtua tanpa kepada yang lainnya.
***
Itulah yang jadi buah topik santri lainnya, poster Hari Santri Nasional 2021. Antusiasme mereka menjadi keheranan bagi Halimah. sebuah perayaan nasional ynag menimbulkan pertanyaan “kenapa harus dirayakan?”. Jika itu hari kemerdekaan itu layak untuk dirayakan ataupun jika itu adalah hari Pancasila layak pula ,batin Halimah. Wajar, ini kali pertama Halimah nyantri dan mengetahui apa-apa yang berkaitan degan nyantri dan mondok. Tak ia hiraukan poster untuk perayaan dua hari kedepan tersebut.
“Hakikatnya org mondokitu agar lebih bisa mendekatkan diri kepada allah, dengan berbagai carapun kita dapat mencobanya. Namun ada hal yang memang menjadi cara jitu bagi kalian khususnya para santri yaitu, menjauhi penghalang dan pelalai dalam menuntut ilmu, misalnya dipondok kyai dan penurus membuat peraturan agar kalian tidak boleh memainkan hp, berat itu berat, susah sekali mungkin bagi kalian tapi, faidahnya, untungnya dan segala kebikannya bagi klain iyu banyak sekali–
“Toh nak, kelalaian itu bisa datang dari mana saja,bahkan dari hal yang menurut kalian baik seklaipun. Tholabul ilmi kalau sudah lalai akan apa yang jadi hak dan kewajiabn mereka, wes wes nak, naudzubillah, wallahu ‘alam. Nek wis jadi santri kudu Usykurullah angsal limpahan barokah saking poro Kyai, ibu Nyai, Asatidz dan para alim lainnya” kantuk yang hilang dari Halimah membuat dia mendengar baik-baik apa yng dikatakan ustadznya. Magis, kalimat itu langsung menampar Halimah dan membuatnya merenungi dawuh ustadznya.
“Karena berkahnya kyai sendiri kita bisa menjadi santri secara bebas, inget nak pada tanggal 22 oktober 1945 para santri tur mujahid berjuang di surabaya untuk melawan penjajah sesuai fatwa Resolusi jihad dari K.H Hasyim Asy’ari, Tanpa ijtihadnya mereka dalam bejihad ini mungkin kita tidak akan merasakan kemerdekaan negara kesatuan republik indonesia degan utuh. Tak ada santri tanpa adanya perjuangan mereka, kemerdekaan yang mereka beri bukan hanya bagi santri, pun bagi semua anak ibu pertiwi–
“Dari keberkahan doannya para kyai dan ulama serta manutnya mereka terhadap guru mereka keberkahan lain juga mereka dapat, yaitu bisa membawa merdeka dari penjajah di semua penjuru indonesia. Kemudian, pada 2015 melalui keputusan presiden Jokowi, menetapkan bahwa tanggal 22 Oktober menjadi Hari Santri Nasional. itulah bentuk Apresiasi bangsa untuk Santri yang tak dapat di balas budinya oleh para santri kecuali dengan mondok sing tenanan“
“Karena Santri sudah menjadi bagian dari Indonesia, banggalah menjadi santri!”. pungkas ustadz dengan penuh semangat. Ya, halimah mengerti sekarang, kenapa Hari Santri menjadi perayaan nasional dan kenapa harus dirayakan. Mulai dari sekarang, Halimah mencoba memperbaiki diri untuk menjadi santri hakiki. Dan merayakan ke-Santrian-nya bukan hanya pada 22 oktober namun disetiap harinya dengan apa yang selayaknya santri amalkan dalam kesehariannya”
***
Ia menjadi dewasa, namun , ada satu yang menjanggal hatinya kini ia bukan lagi tinggal di pesantren, bingung akan apa statusnya kini, ‘Apakah Aku Santri?‘. Pandanganya pun menjadi lebih dewasa, kini santri yang pernah ia definisikan sudah bukan apa yang ia yakini. Menggeluti setiap sisi agama dari seorang ‘alim dan manut akan perintah beliau-beliau demi mendapat berkah-nya dan Ridho-Nya baik tinggal ataupun tidak di pesantren, itulah santri yang ia yakini.
Masih ingat sekali ucapan Ustadznya itu walau sudah 12 tahun berlalu, Kini dengan keseriusannya Tholabul ilimi golet Ridho Kyai, Halimah menjadi ‘Orang’ yang sesungguhnya. Tak kan pernah ia lupakan bagaimana nyantri dan mondoknya walau kini ia sudah dirumah. Hal itu tak mengurangi kesantriannya, dan itu pula yang dapat ia banggakan kepada yang lain, merayakan kesantriannya dimanapun dan kapanpun.
“Aku Santri?”
“Aku, Santri saklawase!”-jawab Halimah dengan senyum merekah
benda, 13.03 /23 oktober 2021