Serambi Pesantren

Mulai Dari Diri Sendiri

Oleh: Ust. Shofiyullah Mukhlas, MA

Disamping diperintahkan untuk memperbaiki diri sendiri, manusia juga diperintahkan untuk mengajak sesamanya untuk berbuat baik. Dalam hidup tak ada kebaikan yang hanya untuk diri sendiri atau sebagian orang. Kebaikan adalah untuk semua, bahkan untuk semua makhluk. Ini dimaksudkan agar manusia senantiasa memercayai bahwa setiap orang pasti memiliki potensi baik, apapun profesinya. Tanpa keyakinan ini, ajakan untuk berbuat baik tidak akan efektif, kendati masing-masing berpegang pada prinsip kebaikan. Karena yang tersisa tinggal kebaikan relatif. Masing-masing akan memegangi kebaikan yang mereka maknai.

Kondisi global kini diindikasikan telah memasuki fase ini. Masing-masing orang telah meyakini bahwa apa yang ia mampu sebagai bekal terbaik. Jika satu sama lain hanya memercayai dirinya, solusi satu-satunya adalah setiap orang harus memperbaiki dirinya sendiri. Upaya ini memang sulit, tapi tidak mustahil.

Kesulitan pertama terletak pada cara menumbuhkannya. Karena upaya memperbaiki diri hanya bisa lahir dari diri sendiri. Orang lain hanya bisa merespon. Tak heran jika usaha ini lebih sering berhenti sebelum kesadaran tersebut lahir dan menjadi bagian dari dirinya.

Kesulitan kedua terletak pada faktor eksternal. Yaitu banyaknya pihak lain yang tidak berusaha menyesuaikan diri dengan orang yang sedang berusaha memperbaiki diri. Dua orang berbeda ini jika berada dalam satu wadah, orang yang sudah berupaya memperbaiki diri akan merasa kurang berarti. Apalagi jika orang yang tak acuh tersebut tidak mendapat sanksi moral apapun, bahkan cenderung mempunyai komunitas lebih.

Namun, ini bukan jalan buntu. Upaya perbaikan, sebenarnya bagian dari perbaikan itu sendiri. Sebab jika pun belum berhasil, minimal ia mengerti bahwa menuju ke tahap lebih baik ternyata bukan hal mudah. Dari sini akan muncul kesadaran perlunya menghargai orang yang telah berhasil, atau sudah banyak berbuat baik. Karena tidak semua orang ternyata bisa berbuat baik. Tentu kesadaran ini merupakan hal sangat positif. Karena inilah tahap seseorang sedang berkenalan dengan dirinya. Hanya orang-orang yang mampu mengenali dirinyalah yang nantinya akan mampu memahami orang lain.

******

Upaya memulai dari diri sendiri ini bukan sekedar perintah, tapi juga bagian dari metode. Ini terbukti dari apa yang digariskan Nabi Muhammad SAW. Metode ini kemudian bergulir hingga berahirnya masa Khulafa’urrasyidin. Rasul dan para khalifah, memosisikan diri sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki tanggungjawab paling berat. Menanggung setiap beban sebelum umatnya merasakan, dan akan memakai fasilitas setelah semua umatnya mendapatkan.

*******

Sayangnya, memasuki dinasti Umayyah kebijakan ini terus bergeser. Muawiyah membongkar khuttah sesuai ijtihadnya. Pemimpin adalah raja, ia memiliki otoritas penuh. Tak ada pertanggungjawaban apapun kepada umat, yang ada hanya tanggungjawab kepada Allah SWT, apapun hasilnya.

Sejak Muawiyah hingga Abdul Malik bin Marwan, masyarakatlah yang selalu dijadikan objek perbaikan sebelum para pemimpinnya. Dengan kata lain, perbaikan dimulai dari orang lain, bukan dari diri sendiri. Penguasa bukan anggota masyarakat, apalagi pelayan. Bagi mereka, pemimpin akan bisa berpikir dan bekerja maksimal jika masyarakat hidup tertib. Jika masyarakat terus bergolak, pemimpin tak akan punya kesempatan untuk berbuat lebih banyak.

Klaim ini seolah-olah benar, tapi kenyataannya berbeda. Klaim ini hanya menjadi proteksi kekuasaan. Semua hanya menjadi semboyan. Dengan semboyan ini mereka bisa leluasa berbuat tanpa dihantui kemungkinan protes rakyat. Semboyan itu kini terbukti menjadi kebohongan publik. Rakyat kini bisa memahami. Rakyat yakin, doktrin penguasa hanyalah sarana untuk melumpuhkan aspirasi individu. Hal itu kini semakin tanpak.

*******

Lebih dari itu rakyat yakin betul bahwa para pemimpin mereka kini menggunakan kekuasaan bukan sebagai sarana perbaikan. Mereka menerapkan hukum hanya kepada rakyatnya, bukan untuk para pejabatnya.

Sadar akan rapuhnya slogan seperti ini, Umar bin Abdil Aziz dulu bangkit untuk mereformasi. Ia ganti sistem monarki absolut. Ia kembalikan kebijakan kepada asalnya. Kepemimpinan adalah amanat. Kepemimpinan bukan sarana untuk menikmati kebebasan secara terlembaga. Umar akhirnya membuka dialog dengan rakyat demi masa depan bangsa dan agamanya. Ia sadar bahwa yang harus didahulukan untuk diperbaiki adalah para pejabatnya, bukan rakyatnya. Rakyat secara alami akan mengikuti jika para penguasanya bergerak baik. Rakyat akan malu jika tetap melaksanakan kebiasaan buruknya. Sehingga pemimpin mempunyai alasan penuh untuk menindak mereka jika mereka masih tetap dalam kebiasaan buruk.

Seruan untuk bangkit seperti ini biasanya akan dianggap ancaman bagi sebagian barisan status quo. Mereka akan terus berinisiatif jahat meracuni satiap upaya kebangkitan. Dalam kilas balik ini, Umar bin Abdul Aziz hanya memimpin dua setengah tahun karena harus wafat diracuni.

Kisah ini menunjukkan bahwa setiap upaya perbaikan pasti memerlukan bekal. Umar bin Abdul Aziz sadar bahwa upaya perbaikannya pasti akan menghadapi ancaman. Tapi karena nilai yang ia perjuangkan ia yakini lebih berharga dari dirinya, ia pun merelakan dirinya menjadi bekal tersebut. Tanpa menyiapkan bekal, perbaikan hanya sebatas wacana.

Dalam kehidupan bermasyarakat, menyeru kebaikan bukan hal yang salah. Tapi yang mutlak diperlukan adalah memulai perbaikan tersebut dari diri masing-masing. Cara seperti yang dilakukan para khalifah dinasti Umayyah di atas bukan tanpa alasan, tapi mengembalikan seperti upaya Umar bin Abdul Aziz dan para Khulafaurrasyidin adalah keniscayaan.

*****

Contoh bersih diri yang diteladani Rasulullah bisa dipahami dari penolakannya terhadap segala kompensasi yang ditawarkan kepadanya agar berhenti berdakwah. Permintaan ini pernah disampaikan melalui sang paman, Abu Thalib. Tiga kompensasi tersebut adalah soal jabatan, hadiah uang dan perempuan. Atas tawaran ini, Rasul bersumpah demi Dzat yang menciptakan langit bumi untuk menolak dan tetap terus berdakwah.

Penolakan Rasulullah ini merupakan prinsip sangat istimewa dan penuh keteladanan. Esensinya terletak pada penolakannya, bukan kelangsungan aktifitas dakwahnya. Oleh karena itu, dai yang menerima kompensasi, dakwahnya sudah tidak lagi efektif. Ajaran yang dibawa sudah tamat kendati kegiatan dakwahnya masih aktif. Ajakan dan seruannya ibarat sisa gerak binatang yang sudah disembelih (hayat madzbuhah). Karena spirit dakwah yang sesungguhnya bukan semata-mata terletak pada aktifitasnya, tapi pada sikap konsistennya.

Memang, tuntutan umat Islam adalah berdakwah, walaupun tidak ada tuntutan harus berhasil. Tapi memperbaiki diri agar dakwahnya bisa diterima merupakan upaya memulai yang jauh lebih mulia. Kendati dakwahnya belum berhasil, jika yang berdakwah telah memulai bersih diri, substansi dakwahnya tidak akan mencelakakan orang lain. Namun jika dakwah hanya memerintah, mengajak, atau melarang tanpa ada upaya memperbaiki diri, tak menutup kemungkinan dakwah yang dibawa hanya akan merendahkan seruannya sendiri. Jika isi dakwahnya adalah ajaran agama, sang dai sama artinya telah membuka jalan untuk orang lain agar melecehkan ajaran agama. Karena dengan dakwahnya, orang yang diajak akan mengabaikan, atau bahkan melecehkan isinya. Padahal isi dari dakwahnya adalah ajaran agama.

Orang yang tidak menerima ajakan baik memang salah, tapi para dai dan penguasa yang hanya mengajak juga lebih salah. Oleh karena itu jika mereka tidak siap bersih diri lebih baik tidak mengemban amanat ini.

****

Jika saja perjuangan awal Rasulullah sudah tidak bersih diri tentu ajarannya tidak akan abadi hingga kini. Sosok beliau yang jelas-jelas bersih itu, kini para penerusnya banyak yang jauh dari sikap tersebut, apalagi seandainya Rasul telah kehilangan konsistensi sejak awal awal perjuangannya.

Demikian juga dengan para khulafaurrasyidin. Mereka adalah orang-orang yang mengbadikan diri murni untuk meneruskan risalah Rasulullah. Keputusan Abu Bakar menjelang ajal untuk mengembalikan seluruh gaji yang pernah ia terima, merupakan teladan luar biasa yang sangat sulit dijejaki. Padahal angka itu tak seberapa dibanding dengan jasa yang sudah ia abdikan.

Karenanya, tak mungkin ada kata berhasil jika para penerus perjuangan kini sengaja tak hendak bersih diri. Jika pun pemimpin yang nyata-nyata tidak bersih itu tampil bak sosok yang sukses, sesungguhnya ia telah kehilangan ruhnya. Ia dan seluruh seruanya sudah tamat kendati kegiatan fisiknya masih aktif.

Wallahu A’lam bis shawab

.

Pondok Pesantren Al -Hikmah 2

Pondok Pesantren Al Hikmah 2 berlokasi di dusun Benda Kecamatan Sirampog Kabupaten Brebes Jawa Tengah. Membuka beragam unit Pendidikan mulai dari tingkat TK, MI, SMP, MTs, SMA, MA, SMK, MMA, Ma'had Aly, STAIA, AKPER serta Tahfidzul Qur'an. Informasi Lebih Lanjut, Hubungi Kami di (0289) 511 0772 / 432 445

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button